Jakarta, HanTer-Berbagai kalangan menilai pemberantasan mafia peradilan di Indonesia tidak bisa dilakukan setengah-tengah, tetapi harus menyeluruh dengan memperbaiki serta membuat sistem peradilan yang transparan di ikuti dengan sebuah aturan peraturan-perundang-undangan yang komperehensif dengan peraturan yang sudah ada.
Peraturan itu pun harus terdapat sanksi yang berat agar menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Sebab, apabila hal itu tidak dilakukan maka fenomena mafia peradilan yang terjadi di republik ini semakin membuktikan bahwa Indonesia sebagai negara gagal.
"Semakin dikuasai mafia dan kongkalikong dalam dunia peradilan kita, mengindikasikan Indonesia bukan lah `rechtstaat` sebagaimana amanat konstitusi. Bahkan celakanya, mafia peradilan itu adalah salah satu fenomena negara gagal (Failed State)," kata Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG), Saiful Bahri Ruray saat dihubungi, Minggu (26/7/2015).
Dia mengungkapkan, mafia peradilan di Indonesia juga berkaitan dengan masalah karakter yang harus terbentuk sejak dini melalui dunia pendidikan. "Kita tidak bisa memberantas mafia di pucuknya saja, lalu akarnya tidak tersentuh. Dunia pendidikan lah yang harus membentuk SDM yang kualitatif dan berkarakter agar mafia tidak mendapat tempat untuk hidup," ungkapnya.
Masih adanya mafia peradilan di Indonesia, sambungnya, menjadi bukti bahwa kita masih gagal membentuk karakter manusia Indonesia. Cita-cita Presiden Soekarno membentuk `nation and character building` yang sering didengungkan Bung Karno, belum selesai hingga kini. "Kita belum tahun revolusi mental ala Jokowi, macam apa implemetasinya dalam menghadapi carut marut bangsa dewasa ini," ujarnya.
Sebab itu, perlu juga ada semacam grandstrategi untuk membangun yang namanya manusia Indonesia, karena peradilan yang jujur dan adil itu adalah potret buruk tidaknya suatu masyarakat. Selain itu, perlu juga dibentuk kembali satgas anti mafia peradilan. "Disamping itu, sebaiknya semua proses berperkara harus transparan sebagaimana di luar negeri ada channel tv khusus peradilan agar publik turut mengawasi dan mengikuti prosesnya," ujarnya.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki mengatakan, pemberantasan mafia peradilan tidak bisa dilakukan sepotong-potong. Harus komprehensif mulai dari pembenahan sistem hukum, reformasi mental aparat hukum, perbaikan kesejahteraan hingga penerapan reward and punishment yang berimbang agar muncul keteladanan dan efek jera yang efektif.
Sebab, lanjutnya, selama masih bersifat parsial tanpa blueprint yang jelas dan komprehensif, memberantas mafia peradilan akan tinggal mimpi dan mustahil berdampak signifikan. Tentunya Indonesia terus akan dinilai sebagai negara gagal dalam berbagai bidang. "Kita butuh satu blue print atau grand design reformasi hukum dan peradilan yang bersifat komprehensif. Tidak boleh sepotong-potong," kata Masnur Marzuki.
Menurutnya, mafia peradilan semakin diperparah karena gagalnya reformasi peradilan sebagai bagian dari reformasi hukum, yakni pelaku utamanya melibatkan aparatur penegak hukum yang masih bermental warisan masa lalu. "Indikasi keterlibatan aparatur negara dalam pusaran mafia peradilan bisa disimpulkan dari sambutan Jokowi di depan kejaksaan yang mengingatkan mereka tidak menjadikan tersangka sebagai sapi perahan aparat. Ini sungguh memalukan," sesalnya.
Masnur menegaskan, pemberantasan mafia peradilan ini harus segera diatasi oleh semua pihak terutama oleh pemerintah. Sebab, mafia peradilan sudah seperti debu menabur rata di setiap tingkat pengadilan yang pada kkhirnya nurani keadilan sering dikalahkan karena pengaruh uang dan jabatan. "Bahkan Indonesia catat sejarah sebagai satu-satunya negara dimana ketua MK-nya tertangkap tangan terima suap. Ini sungguh ironi padahal penegasan negara hukum sudah terang benderang tercantum dalam konstitusi," ungkapnya.
Menanggapi hal itu, Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi membantah Indonesia negara gagal karena masalah mafia peradilan. Sebab, katanya, mafia peradilan yang terjadi di Indonesia tidak seperti yang diberitakan di media massa. "Ini gendangnya saja yang dibesar-besarkan. Padahal, masalah mafia peradilan tidak banyak terjadi di Indonesia," klaim Suhadi. Namun, ketika ditanya terdapat berada kasus hakim agung yang terlibat mafia peradilan, ia tidak mengetahui angka pastinya.
"Ini (hakim terlibat mafia peradilan) sakitnya bukan satu orang, tapi 7000 ribuan hakim di Indonesia sakit juga," lanjutnya.
Dia mengatakan, pihaknya tegas dalam mengambil sikap apabila terdapat hakim terlibat mafia peradikan, dimana pihaknya memberhentikan sementara waktu apabila hakim ditetapkan sebagai tersangka. "MA tidak ada toleransi, kita berantas mafia peradilan. Kalau tertangkap KPK, sementara di berhentikan. Kalau Operadi Tangka Tangan (OTT), tidak ada maaf bagimu langsung cepat agar berikan efek jera," tegasnya.
Menurutnya, pihaknya juga melakukan berbagai upaya pencegahan mafia peradilan dengan memang CCTV di setiap ruangan hakim. Selain itu, pihaknya sedang membuah pembinaan terhadap para hakim sampai ke daerah. "Tiga tahun terakhir, pimpinan MA turun ke pengadilan tinggi tanyakan permasalahan. Termasuk masalah integritas bahwa tidak ada toleransi nama baik institusi. Ini resiko jabatan, ingin peroleh cara ilegal, bisa hilang jabatan," katanya.
RUU Jabatan Hakim
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Agus Budianto mengatakan, mafia peradilan ibarat kanker dalam tubuh yang harus dicabut akarnya, meskipun ada Komisi Yudisial (KY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih tetap menjamur praktik mafia peradilan karena adanya penawaran. Sehingga, dia berpandangan tindak pidana suap, jual beli perkara sampai menjual produk putusan ke masyarakat ibarat penyakit memalukan dalam dunia penegakan hukum di Indonesia.
"Mungkin untuk meminimalisasi praktik tersebut kambuh kembali yang saat ini sedang digagas Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim bahwa adanya sanksi pidana minimal 15 tahun bagi hakim dan staf pengadilan yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi," kata Agus.
Dia menambahkan, RUU yang digagas oleh KY yang saat ini masih dalam uji publik terdapat sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan aturan sanksi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yakni sanksi diatas 15 tahun. Sedangkan, bagi hakim yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam UU Tipikor sudah diatur sanksi diberhentikan dari jabatannya. "Dalam RUU Jabatan Hakim nantinya hakim sebagai pejabat negara, harus konsekuen dengan status sebagai pejabat negara, kalau tidak terbukti melakukan suap (mafia peradilan), dipulihkan hak-haknya," jelasnya.
Saiful Bahri yang juga Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR ini mengapresiasi gagasan KY dalam membuat RUU Jabatan Hakim yang akan mengatur sanksi lebih berat dan tegas bagi pelaku mafia peradilan. Namun, katanya, sampai saat ini RUU tersebut belum masuk ke Baleg DPR agar dapat dimasukkan sebagai RUU prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2015 maupun Prolegnas 2016.
"Ya kalau sanksi memang harus diperberat karena hakim itu wakil Tuhan, kalau wakilnya mafia ya harus dihukum berat memang. Nanti kita liat draft sanksi usulan KY seperti apa dan kita diskusikan karena sanksi juga harus dilihat fasilitas dan salary pendukung jabatan hakim agar dapat bekerja lebih tenang tanpa gangguan dari mafia misalnya," kata Saiful Bahri.
(Robbi Khadafi)
Sumber: http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/07/26/36229/25/25/Mafia-Peradilan-Makin-Marak-Legislator-Sebut-Indonesia-Negara-Gagal