JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI, Amirul Tamim ikut angkat bicara terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus pasal pembatasan larangan keluarga petahana atau politik dinasti dalam UU Pilkada tahun 2015.
Dalam putusan sidang, MK menjelaskan bahwa pada pasal 7 huruf r soal syarat pencalonan bertentangan dengan pasal 28i ayat 2 yang bebas diskriminatif serta bertentangan dengan hak konstitusional dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan.
“Sejak awal DPR khususnya Komisi II menyadari bahwa itu memang hak konstitusional, tapi saat kita diskusi di Panja bahwa hak itu juga perlu diatur atau dibatasi sementara, mengingat sistem dan kondisi masyarakat kita belum terlalu kuat. Sehingga pilkada pada umumnya selalu dimenangkan oleh petahana atau keluarga petahana dengan memanfaatkan kekuatan struktural,” kata Amirul, Kamis (9/7) malam.
Oleh sebab itu, lanjut mantan Walikota Baubau dua periode ini mengatakan dalam pasal tersebut Komisi II dulu menggantungkan di UU yang kemungkinan tidak terlalu diberikan masukan dan penjelasan bahwa UU tersebut hanya bersifat sementara. “Jadi pasal yang dihapus dalam UU itu memang telah dibuat untuk berlaku sementara selama 10 – 15 tahun. Mungkin kalau sudah masuk di Pilkada serentak nasional 2027 pasal itu sudah tidak ada karena memang UU itu dibuat karena situasional,” jelasnya.
Khusus untuk Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Amirul melihat bahwa komposisi tidak akan diwarnai dengan hadirnya kandidat-kandidat calon kepala daerah yang berasal dari keluarga petahana. Akan tetapi, dengan adanya putusan MK tersebut, Amirul menghimbau agar semua dapat dilaksanakan dengan dikembalikan ke Partai Politik yang mengusung para kandidat ini.
“Sehingga parpol benar-benar bekerja sesuai dengan apa yang ada dipengalaman dan komitmen untuk melahirkan pemimpin yang berkualitas. Tapi, bukan berarti pemimpin dari keluarga petahana itu tidak ada yang baik,” jelas politikus PPP asal Sultra ini. (hrm)