SALAH satu efek pemilihan umum kepala daerah secara langsung serta otonomi daerah ialah bertebarannya peraturan daerah yang, dalam bahasa Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, tidak Pancasilais. Banyak calon kepala daerah, ketika berkampanye, berjanji menerbitkan perda semacam itu untuk menarik pemilih dari kelompok agama tertentu.
Ketika terpilih sebagai kepala daerah, atas nama pemenuhan janji serta otonomi daerah, mereka betul-betul memberlakukan perda-perda bermasalah tersebut. Itu artinya pemberlakuan perda-perda tersebut bisa dikatakan sebentuk politisasi agama. Mendagri Tjahjo Kumolo mengidentifikasi 139 perda bermasalah.
Kementerian Dalam Negeri tengah memverifikasi perda-perda tersebut. Perda-perda itu bisa dibagi ke dalam paling tidak empat kelompok. Kelompok pertama mengatur perkara 'moral publik', seperti prostitusi, perjudian, dan minuman keras. Golongan kedua berkaitan dengan 'kemahiran' atau kewajiban beribadah.
Golongan ketiga berhubungan dengan simbol keagamaan. Kelompok keempat mengatur kelompok minoritas. Banyak di antara perda tersebut yang bertentangan dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar, nilai-nilai kebinekaan, serta prinsip negara kesatuan. Tidak sedikit pula di antara perda-perda itu yang berseberangan dengan hak asasi manusia serta mendiskriminasi kelompok minoritas dan kaum perempuan.
Itu artinya, dalam tataran konstitusional, perda-perda tersebut tidak tunduk pada undang-undang, Undang-Undang Dasar, bahkan dasar negara. Dengan perkataan lain, perda-perda itu bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam tataran sosial, perda-perda itu pun rawan memicu konflik.
Perda yang melarang umat lain selain penganut Gereja Injili di Indonesia (GIDI) untuk mendirikan tempat ibadah di Kabupaten Tolikara, Papua, disebut-sebut sebagai salah satu penyebab penyerangan jemaah salat Idul Fitri, Jumat (17/7). Dalam ungkapan lain, perda-perda itu melanggar kepentingan publik.
Karena pemilihan langsung kepala daerah serta otonomi daerah menjadi pangkal terbitnya perda-perda bermasalah tersebut, dalam jangka panjang boleh juga kita meninjau ulang kedua praktik demokrasi itu. Dalam jangka pendek, karena kita hendak memasuki pilkada langsung, Badan Pengawas Pemilu harus menunjukkan taringnya.
Jangan ragu menyemprit, bahkan bila perlu mendiskualifikasi, calon kepala daerah yang mengumbar janji akan menerbitkan perda-perda yang kelak menjadi perda bermasalah. Terhadap perda-perda bermasalah yang telanjur terbit, sudah benar langkah Kemendagri yang memverifikasi mereka.
Bahkan, gubernur pun bisa memverifikasi. Mendagri dan gubernur jangan ragu membatalkan perda yang bila diverifikasi betul-betul bermasalah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, perda bisa dibatalkan mendagri atau gubernur bila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan kesusilaan.
Perda-perda bermasalah diduga paling tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi serta kepentingan umum. Seharusnya perda dibuat sebagai solusi, bukan menjadi sumber masalah. Perda bernuansa tidak Pancasilais dapat mengancam pluralitas masyarakat Indonesia sekaligus mengancam eksistensi negara kesatuan. Kita mendambakan Indonesia yang damai dalam keberagaman tanpa perda-perda bermasalah.
Sumber: http://news.metrotvnews.com/read/2015/07/24/150118/damai-tanpa-perda-bermasalah