Kita dikejutkan oleh insiden Tolikara. Pembakaran kios dan rumah yang kemudian merembet ke musala oleh sekelompok orang di Distrik Karubaga, Tolikara, Papua, bertepatan dengan perayaan Idul Fitri 1 Syawal 1436 Hijriah mengusik rasa kebersamaan kita sebagai bangsa. Kehidupan harmonis di antara warga bangsa yang majemuk kembali tercabik oleh ulah sekelompok orang yang bertindak semena-mena kepada sesamanya di Tanah Papua.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), setiap warga negara berhak beribadah di mana pun di wilayah negeri ini. Hal itu termaktub dalam UUD 1945. Dalam kasus Tolikara, kita mengutuk tindakan orang-orang yang tak mengindahkan amanat konstitusi. Tolikara merupakan bagian dari NKRI, sehingga umat beragama apa pun berhak menunaikan ibadahnya, termasuk umat Muslim.
Memang ada beberapa versi cerita yang beredar tentang asal-muasal insiden Tolikara. Dalam pernyataan sikap yang disampaikan Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), pendeta Dorman Wandikmbo, antara lain disebutkan insiden tersebut berawal dari penembakan aparat keamanan terhadap para pemuda GIDI yang hendak berdiskusi terkait imbauan yang disebarkan dua minggu sebelumnya agar umat Muslim tak menggunakan pengeras suara saat salat Idul Fitri. Akibatnya, terjadi amuk massa yang kemudian membakar kios, lalu merembet ke musala.
Versi lain menyebutkan insiden itu terjadi karena pemberitahuan oleh Badan Pekerja Wilayah Toli GIDI agar Lebaran (salat Idul Fitri) 17 Juli tidak dilakukan di wilayah Karubaga, Tolikara, dilanggar. Amuk massa pun akhirnya tak terhindari. Terlepas dari berbagai versi di masyarakat, yang pasti umat Muslim di Tolikara tak dapat menjalani ibadah secara leluasa.
Dalam kasus ini, ada beberapa hal yang patut disoroti. Pertama, soal penentuan waktu berlangsungnya seminar dan kebaktian kebangunan rohani (KKR) Pemuda GIDI tingkat internasional. Dalam penanggalan nasional, jauh-jauh hari sudah diketahui bahwa Idul Fitri tahun ini atau 1 Syawal 1436 Hijriah jatuh pada 17 atau 18 Juli 2015. Kalaupun panitia telah merancang jadwal seminar dan KKR pada 13 Juli sampai 19 Juli 2015, tak ada salahnya memundurkan jam pelaksanaannya hingga pukul 10.00 WIT, sekaligus memberi kesempatan kepada umat Muslim melaksanakan salat Idul Fitri yang hanya memerlukan waktu maksimal dua jam atau akan berakhir pukul 08.00 WIT. Bila itu terjadi, mungkin insiden tersebut bisa dihindari.
Kedua, imbauan GIDI agar tak menggunakan pengeras suara saat salat. Bahkan, yang lebih mengerikan adalah beredarnya selebaran yang tidak mengizinkan pelaksanaan salat Idul Fitri. Bagi kita, imbauan tersebut tak bijak di tengah heterogenitas warga Tolikara. Proses ibadah setiap agama berbeda-beda dan sebagai sesama warga bangsa kita wajib menghormatinya. Hal tersebut sudah berlangsung puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun, dan fakta menunjukkan masyarakat Indonesia bisa hidup berdampingan dengan damai.
Dalam kasus ini, kita mendesak aparat keamanan untuk mengusut tuntas penyebab insiden Tolikara. Pembuat selebaran provokatif harus dimintai keterangan dan tak tertutup kemungkinan dijerat dengan pasal-pasal dalam KUHP yang mengatur tentang kejahatan terhadap ketertiban umum. Selain itu, aparat keamanan perlu memperluas penyelidikan tentang kemungkinan adanya pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan kedamaian di Papua.
Ketiga, minimnya antisipasi aparat keamanan. Lokasi salat Idul Fitri dengan tempat seminar hanya berjarak 250 meter, sehingga sangat berpotensi memunculkan konflik di antara dua kelompok massa. Kalaupun lokasi salat tak bisa dipindah, kekuatan aparat harus ditambah agar konflik bisa dicegah sedini mungkin.
Keempat, perda yang diskriminatif. Insiden di Tolikara juga tak lepas dari adanya peraturan daerah (perda) tahun 2013 yang hanya mengizinkan pembangunan gereja oleh GIDI, bukan oleh denominasi lain. Di antara sesama aliran di dalam Kristen pun terjadi intoleransi, apalagi terhadap agama lain. Perda diskriminatif semacam itu harus dicabut untuk mewujudkan kesamaan hak di antara semua warga negara.
Insiden Tolikara telah menimbulkan luka di hati umat beragama yang selama ini hidup toleran. Luka itu harus segera disembuhkan dan tak boleh dibiarkan menyebar ke daerah lain. Karena itu, semua pihak yang ikut andil dalam kerusuhan--apakah itu pelaku di lapangan, pihak yang membuat peraturan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD, aktor intelektual, aparat yang menggunakan peluru tidak pada tempatnya--harus diproses secara hukum. Hanya hukum yang ditegakkan yang bisa menjaga kehidupan bersama yang toleran sesuai hukum positif yang berlaku.
Pejabat di pusat dan daerah, tokoh masyarakat, dan pemuka agama pun wajib menggaungkan kembali toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Ibarat tanaman, toleransi harus terus disiram dan dipupuk agar senantiasa segar dan mengharmoniskan kehidupan.
Sumber: http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/4223-memupuk-toleransi.html