Menjelang pendaftaran calon kepala daerah (CKD) 26 Juli 2015, ramai diperbincangkan topik hak politik. Latar belakangnya, syarat CKD yang diatur dalam UU No 8 Tahun 2015 dan UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Beberapa latar belakang kandidat yang digugat atau menggugat haknya dalam Pilkada, yaitu keluarga petahana, Pegawai Negeri Sipil (PNS), serta anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Sebelum diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 6 Juli 2015, keluarga incumbent dilarang menjadi CKD seperti tercantum dalam Pasal 7 huruf r UU Pilkada. Namun, MK membatalkan pasal tersebut karena dianggap diskriminatif.
Untuk PNS, seperti diduga sebelumnya, MK akan menolak gugatan kewajiban ASN mundur bila menjadi CKD. Dua argumen yang memberatkan putusan MK bahwa birokrat harus netral secara politik dan kekhawatiran akan penyalahgunaan jabatan.
Karena PNS harus mundur jika mencalonkan diri berkompetisi menjadi pemimpin daerah, maka MK kemudian memutuskan legislator juga harus melakukan hal sama. Alasannya tidak lain demi tegaknya keadilan karena PNS juga harus mengundurkan diri. Satu gugatan lagi yang masih belum diputus MK datang dari Ismeth Abdullah dan I Gede Winasa. Mereka menilai pasal syarat CKD tidak pernah dihukum penjara lebih dari 5 tahun dianggap inkonstitusional. Mereka berargumen, para mantan napi sudah menunaikan hukuman, sehingga berhak mencalonkan diri kembali dalam Pilkada.
Berangkat dari ini, menarik untuk mempertanyakan, apakah benar bahwa aturan dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang Hak untuk Dipilih melanggar hak asasi manusia, khususnya hak politik? Menarik untuk membahas hak politik keluarga petahana. MK dalam putusannya Nomor 33/PUU-XIII/2015 berpendapat bahwa larangan keluarga petahana maju dalam Pilkada melanggar HAM. Dalam putusan 150 halaman tersebut secara panjang lebar disebutkan, meskipun dapat menguntungkan keluarganya, bukan berarti keluarga petahana harus dilarang maju dalam Pilkada. Dengan dasar itu, MK lalu membatalkan pasal larangan tersebut.
Memang putusan MK dapat diterima dengan akal sehat dan logika. Namun demikian, putusan MK tidak melihat konteks politik regulasi politik kekerabatan itu. Politik dinasti telah menjadi perhatian besar masyarakat karena menciptakan oligarkhi. Apalagi kalau dinasti politik itu juga menjalankan praktik pelanggaran hukum seperti korupsi, maka dampak buruknya lebih besar lagi.
Oleh karena hampir tidak mungkin saat ini membuat aturan guna memperketat ruang gerak kepala daerah yang sedang menjabat, maka keberadaan pasal pembatasan hak politik keluarga incumbent dapat mempersempit peluang membesarnya dinasti politik daerah. Dikaitkan dengan jaminan hak untuk dipilih, pasal yang dibatalkan MK sudah menjamin hak, namun dibatasi tidak bisa langsung. Tujuannya tidak lain menjamin adanya kesetaraan yang bukan keluarga petahana.
PNS
Terkait hak politik PNS, aturan mengenai hal ini ada pada UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN. Pasal-pasal yang berkaitan dengan kewajiban mundur bagi PNS ada pada pasal 87 ayat (4) huruf c, pasal 119, pasal 123 ayat (3), pasal 124 ayat (2) UU ASN.
Seluruh ketentuan ini mewajibkan PNS mengundurkan diri bila mencalonkan diri sebagai pejabat Negara, termasuk kepala daerah. Contoh, Pasal 119 UU ASN menyebutkan, “Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur, wakil gubernur, bupati, wali kota, wakil bupati, wakil wali kota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis.”
Pasal 123 ayat (3) menyatakan kurang lebih sama. “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden/Wakil Presiden... dst wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis.” Seluruh aturan hukum tersebut digugat empat PNS: Fathul Hadi Utsman, Abdul Halim, Sugiarto, dan Fathahillah. Keempatnya gagal menjadi caleg pada Pemilu 2014 lalu dan akan mendaftar sebagai kepala daerah pada tahun 2015 ini.
Mereka beranggapan bahwa seluruh aturan tersebut diskriminatif dan merugikan PNS. Dalam UU ASN disebutkan, PNS bisa menjadi pejabat negara, namun untuk mencalonkan diri, harus mundur. Eduard Nunaki juga menggugat Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN. Asisten Sekda di Papua ini ingin menjadi kepala daerah. Menurutnya, kedua pasal itu diskriminatif dan membatasi hak politik pemohon. Diskriminasi itu terlihat juga dalam kewajibannya untuk mengundurkan diri sebagai PNS.
Terhadap gugatan-gugatan tadi, MK mengeluarkan keputusan No 46/PUUXIII/ 2015 yang menyatakan, PNS yang akan mencalonkan diri menjadi kepala daerah tidak perlu mundur dari jabatannya, sebelum dinyatakan memenuhi persyaratan oleh penyelenggara Pilkada. Sebenarnya, tujuan para penggugat bukan seperti itu, tapi tidak wajib sepenuhnya baik sebelum dinyatakan sebagai calon maupun sesudahnya.
Keputusan MK sudah tepat karena PNS harus harus netral secara politik. Kewajiban pejabat tingkat menengah untuk mundur jika maju sebagai calon juga beralasan karena dikhawatirkan menyalahgunakan jabatannya untuk pemenangan. Pembatasan hak perlu demi kepentingan yang lebih besar. Hak politik PNS dibatasi supaya birokrasi tetap netral secara politik dan tidak ada penyalahgunaan jabatan.
Sejalan dengan putusan MK dengan dua latar belakang lain, untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD juga diberlakukan sama. Dalam putusan MK No 38/PUUXIII/ 2015 disebutkan bahwa seorang anggota legislator harus mundur ketika mencalonkan diri sebagai CKD. Dasar hukum putusan MK ini demi menegakkan prinsip kesetaraan karena PNS dan militer juga begitu.
Dewan harus memilih ingin maju sebagai CKD atau tetap di legislatif. Ini perlu diletakkan sebagai fungsi-fungsi penting partai politik: rekrutmen, kaderisasi, dan komunikasi. Parpol tidak perlu risau dengan aturan ini karena sebagai pool of candidates mereka seharusnya memiliki kader dan anggota terbaik berlimpah.
Oleh: Ikhsan Darmawan
Penulis dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI