Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar Sidang Panel Pemeriksaan Pendahuluan (Pasca Perbaikan Permohonan) Pasal 7 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda Tahun 2004), yang diajukan oleh Yandril, H. Anwar Maksum, dkk (Ketua DPRD Kabupaten Agam dan para Wali Nagari Kabupaten Agam yang berjumlah 17 orang) pada hari Senin, 25 September 2006 pukul 10.00 WIB bertempat di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi RI, Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.
Dalam persidangan sebelumnya, Pemohon melalui kuasa hukumnya, Purwoko Suatmadji, SH, menjelaskan bahwa pada pokoknya pengajuan permohonan ini dikarenakan adanya kerugian yang dialami oleh masyarakat Kabupaten Agam sehubungan dengan adanya PP No. 44 Tahun 1999 tentang Perubahan Batas Wilayah Kota Bukit Tinggi dan Kabupaten Agam, yang merugikan dari pihak Kabupaten Agam karena ada sebagian wilayah yang berpotensi diambil atau dimasukkan ke dalam wilayah kota Bukit Tinggi.
Kami pernah mencoba mengajukan Peraturan Pemerintah (PP) ini ke MA untuk di-review, tapi karena terlalu lama tidak ada penyelesaiannya, maka kami mencoba untuk kembali mengajukan ke MK dengan menghubungkan antara PP tersebut dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, jelas Purwoko.
Pasal 7 ayat (2) UU Pemerintahan Daerah 2004 berbunyi: Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama bagian rupa bumi serta perubahan nama, atau pemindahan ibukota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut para Pemohon, pasal tersebut mendelegasikan suatu perubahan batas suatu daerah padahal pembentukan suatu daerah ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 4 UU Pemda Tahun 2004). Menurut Pemohon hal itu tidaklah tepat karena untuk merubah suatu undang-undang bukan merupakan kewenangan PP. Sehingga, dalam perbaikan permohonannya, Pemohon memohon agar Majelis Hakim MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam persidangan yang lalu, Ketua Hakim Panel Maruarar Siahaan, SH mengatakan bahwa PP No. 44 Tahun 1999 bukanlah derivasi dari Pasal 7 ayat (2) UU Pemda. Bagaimana caranya mengaitkan sehingga MK bisa melihat bahwa Saudara berhasil mengaitkan kewenangan MK untuk bisa menyinggung tentang itu? tanya Maruarar.
Sementara itu, Hakim Anggota Panel, DR. Harjono, SH, MCL, juga mengingatkan pemohon bahwa, pertama, batu uji pengujian undang-undang adalah Undang-Undang Dasar. Saya lihat di permohonan Saudara pasal yang anda mohonkan juga diuji dengan undang-undang No. 10 (UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Sedangkan di MK, undang-undang diuji dengan Undang-Undang Dasar, jelas Harjono.
Kedua, tambah Harjono, masing-masing pemohon dinilai masih belum jelas status pemohonnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Terhadap beberapa koreksi di atas, dalam perbaikan permohonannya, Pemohon menjelaskan bahwa para Pemohon terdiri dari perorangan dan masyarakat hukum adat (Wali Nagari). Selain itu, Pemohon juga menguraikan bahwa Pasal 7 ayat (2) UU Pemda tersebut merugikan hak-hak konstitusional para Pemohon yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sedangkan dari segi kepastian hukum, Pemohon menjelaskan bahwa Pasal 7 ayat (2) UU Pemda bertentangan dengan Pasal 5 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 22A UUD 1945 yang kemudian dipertegas dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pemda harus ditetapkan dengan suatu undang-undang dan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (5) UU No. 10 Tahun 2004.
Sidang Panel nanti (25/9) rencananya akan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H., dengan anggota panel Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. (Wiwik BW)