Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan tentang judicial review terhadap Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) terhadap UUD 1945 pada hari Rabu 20 September 2006 pukul 11.00 WIB di ruang sidang gedung MK, Jl. Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.
Permohonan ini diajukan antara lain oleh Drs. Arukat Djaswadi, KH Ibrahim, KH M. Yusuf Hasyim, H. Murwanto S., H. Abdul Munim, SH, dan Drs. Moh. Said. Para pemohon ini adalah perorangan warga negara Indonesia yang menjadi pelaku sejarah dan sekaligus sebagai korban kekejaman Gerakan 30 September (G 30 S) PKI yang terjadi pada tahun 1965 di daerah Jawa Timur.
Melalui kuasa hukumnya, antara lain, Sumali, SH, MH, Deddy Prihambudi, SH, Eggy Sujana, SH dan Aris B. Cahyono, Pemohon meminta majelis hakim MK berkenan untuk memutus bahwa UU KKR bertentangan dengan UUD 1945 dan isi UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam alasan permohonannya, Pemohon antara lain menjelaskan bahwa secara obyektif, materi muatan UU KKR membawa cacat hukum yang mendasar atau prinsipiil. Hal ini, menurut Pemohon, dapat dijumpai pada bagian konsiderans baik pada bagian Menimbang dan Mengingat, ternyata hanya menyantumkan landasan sosiologis dan yuridis. Sedangkan, landasan filosofis, yaitu Pancasila, ternyata tidak tercantum baik secara tegas (explicit verbis) maupun secara tersirat.
Selain itu, Pemohon berpendapat, UU KKR tidak akan mampu menjamin terwujudnya dimensi kepastian hukum dan rasa keadilan dapat dijumpai pada konsep atau definisi yang merupakan kata kunci di dalam UU KKR, yakni: Kebenaran; Rekonsiliasi; Korban; skala prioritas penanganan korban; serta batas waktu yang dialokasikan kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di dalam mengungkapkan dan membuktikan adanya pelanggaran HAM berat pada masa lalu.
Apa yang dimaksud dengan Rekonsiliasi dapat dijumpai pada Pasal 1 ayat (2) UU KKR: hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.
Menurut Pemohon, konsep atau batasan pengertian Rekonsiliasi yang digunakan UU a quo, adalah absurd dan a historis. Karena, secara obyektif, yang menjadi korban adalah tidak hanya orang-orang yang tidak bersalah, termasuk organisasi-organisasi yang dianggap legal. Organisasi PKI beserta anggotanya, yang oleh Ketetapan MPRS No.XXV/MPRS/1966 dianggap organisasi terlarang pun, menurut Pemohon kemungkinan juga bisa diposisikan sebagai korban yang berhak memperoleh restitusi dan kompensasi.
Bila hal tersebut terjadi, maka, menurut Pemohon, upaya rekonsiliasi bisa menjadi metode efektif untuk memutarbalikkan sejarah. Karena, bisa jadi yang dulu dianggap sebagai penjahat, setelah proses rekonsiliasi, tiba-tiba menjadi pahlawan, dan begitu pula sebaliknya.
Terhadap permohonan tersebut, Ketua Panel Hakim MK, Prof. H.A.S. Natabaya, SH, LLM. memberikan masukan pada pemohon berupa koreksi mengenai tidak jelasnya fokus permasalahan yang diuraikan. Ketentuan-ketentuan manakah dari undang-undang itu yang bertentangan dengan konstitusi. Kalo bertentangan, bertentangan dengan pasal yang mana dari undang-undang dasar? selidik Natabaya.
Sementara itu, Hakim Anggota Panel, DR. H. Harjono, SH, MCL menjelaskan ke Pemohon bahwa substansi suatu permohonan sebenarnya diarahkan pada dua hal, antara lain, kesiapan pembuktian yang diwujudkan dengan kelengkapan bukti-bukti dan kejelasan dari apa yang diminta atau dimohonkan. Pemohonnya siapa, harus jelas. Tentukan saja menurut ketentuan Pasal 51 undang-undang Mahkamah Konstitusi, jelas Harjono.
Lebih lanjut, Harjono juga mempertanyakan dasar alasan Pemohon yang menyatakan bahwa KKR itu tidak tepat dan efektif. Jadi, sebenarnya anda meminta pembatalan (UU KKR) karena bertentangan dengan Pancasila atau karena kelemahan-kelemahan substansi perundang-undangan tersebut? Karena, ini dua hal yang berbeda, tambahnya.
Sebelum menutup persidangan, Prof. Natabaya memberi waktu 14 hari ke Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. (Wiwik BW)