Menyatukan dua budaya dan latar belakang berbeda seperti perkawinan campuran bukan hal mudah. Namun, perbedaan makin dipersulit aturan hukum terkait kewarganegaraan hingga kepemilikan properti yang cenderung merugikan pelaku perkawinan campuran. Organisasi perkawinan campuran atau Indonesian Mixed Marriage Society (Perca) berupaya membantu.
SEKARING RATRI, Jakarta
BEGITU memutuskan menikah dengan Mark Winkel, Rulita Anggraini paham betul risiko yang dihadapinya, termasuk latar belakang budaya yang jauh berbeda. Mark adalah pria berkewarganegaraan Amerika Serikat (AS) sementara Rulita perempuan asli Indonesia berdarah Jawa. Namun, perbedaan-perbedaan mendasar tersebut tidak menjadi persoalan. Mereka pun telah memiliki tiga anak.
“Suami saya ini menganggap Indonesia seperti rumah sendiri. Dia cocok sekali di sini. Dia juga sudah sangat terbiasa dengan kebiasaan dan kebudayaan orang Indonesia kayak jam karet,” ujar Rulita di kediamannya, di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, Sabtu (11/7).
Justru yang menjadi, sejumlah kebijakan yang dinilai diskriminatif. Rulita menuturkan, ada beberapa kebijakan di Indonesia cukup merugikan pelaku kawin campur. “Misalnya terkait kewarganegaraan, dulu sebelum 2006, anak-anak hasil perkawinan campuran itu harus mengikuti kewarganegaraan bapaknya. Jadi anak-anak saya itu awalnya WNA (warga negara asing). Karena ketiga anak saya ini lahir sebelum 2006. Yang pertama itu 1996, yang kedua 2000, dan ketiga 2005,”paparnya.
Walhasil, kata Rulita, sejak anak-anaknya lahir hingga 2006 tersebut, dirinya dan sang suami harus bolak-balik mengurus izin tinggal bagi putra-putrinya. Bahkan, setelah perpanjangan tiga tahun masa izin tinggal, mereka harus keluar dari Indonesia dan masuk lagi ke Tanah Air untuk memperoleh izin tinggal. Namun, pemerintah melunak. Pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya UU itu disambut gembira para WNI bersuamikan WNA, termasuk Rulita. UU Kewarganegaraan yang baru tersebut memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas bagi anak-anak hasil perkawinan campuran. ”Saya lega sekali dengan UU baru ini. Karena itu, saya langsung mengurus status kewarganegaraan ketiga anak saya,” urainya.
Meski begitu, perempuan 49 tahun itu mengakui, aturan baru tersebut sifatnya terbatas. Status dwi kewarganegaraan tersebut hanya berlaku hingga anak-anak hasil perkawinan campuran berusia 21 tahun. ”Setelah itu, mereka harus memilih. Mau jadi WNA atau WNI. Ya, tapi paling nggak ini sudah lumayan lah,” katanya.
Di samping persoalan kewarganegaraan, ada juga masalah izin tinggal bagi suami WNA. Sebelumnya, para suami WNA tersebut tidak bisa memiliki izin tinggal di Indonesia jika tidak memiliki pekerjaan di Indonesia. Hal tersebut dinilai tidak adil bagi para pelaku perkawinan campur. “Ini diskriminatif sekali. Masak suami kita kalau mau tinggal dengan anak-anaknya harus pakai visa kunjungan lah, visa liburan lah,” ujarnya.
Namun, persyaratan tersebut kini tidak lagi berlaku. Berdasarkan Undang-Undang (UU) 6/2011, para WNA diperbolehkan memiliki izin tinggal setelah usia pernikahan dua tahun. ”Jadi istri bisa mensponsori suami untuk tinggal. Dan izin tinggal tetap itu setelah lima tahun bisa diperpanjang sampai waktu yang tidak ditentukan,” kata Rulita.
Berbagai terobosan hukum terkait hak pelaku perkawinan campuran tersebut tidak lepas dari upaya-upaya advokasi yang dilakukan Indonesian Mixed Marriage Society atau Perca. Perempuan kelahiran 26 November itu merupakan salah satu pendiri Perca. Perca didirikan Mei 2008. ”Karena banyaknya permasalahan dihadapi pelaku perkawinan campur ini, kita berinisiasi membentuk Perca untuk membantu mereka. Perca ada tiga fokus utama, sosialisasi, advokasi dan konsultasi,” kata Rulita yang merupakan ketua pertama Perca tersebut.
Menurut Rulita, banyak advokasi dilakukan Perca untuk mendukung kesetaraan hak sipil bagi WNI yang menikah dengan WNA. Pihaknya pun bersyukur selangkah demi selangkah, ada terobosan hukum memberikan keadilan bagi orang-orang seperti dirinya. Namun, saat ini yang tengah diperjuangkan Perca terkait hak kepemilikan properti oleh WNI yang menikah dengan orang asing.
President Director Perusahaan Public Relation Prisma tersebut menuturkan, pemerintah masih melarang WNA memiliki properti di Indonesia. Terkait hal tersebut, pihaknya merasa tidak keberatan. Tapi, yang menjadi persoalan, aturan terkait larangan kepemilikan properti tersebut akhirnya juga merembet kepada WNI yang menikah dengan orang asing.
“Ini yang bagi saya sangat tidak adil. Termuat jelas dalam UU Agraria pasal 21 ayat 1 (1), yang berisi ketentuan hanya WNI yang dapat memiliki hak milik properti. Nah, apa saya bukan WNI? Kenapa saya tidak bisa punya rumah di sini hanya karena saya menikah dengan orang asing. Saya masih WNI dan tidak melepaskan kewarganegaraan saya,” tegasnya.
Karena kerumitan kepemilikan properti tersebut, saat ini, Rulita dan keluarganya memilih tinggal di rumah warisan orangtuanya. “Ini rumah warisan orangtua saya,” kata dia.
Menurut Rulita, larangan kepemilikan properti bagi WNI yang menikah dengan WNA tersebut akhirnya disiasati pelaku perkawinan campuran. Salah satu siasat kerap dilakukan adalah menggunakan KTP saat perempuan WNI tersebut belum menikah. “Kalau sudah mentok biasanya disarankan memakai KTP saat si WNI itu masih gadis. Padahal, nikahnya sudah bertahun-tahun dan sudah punya anak,” ujarnya.
Cara lainnya, kata Rulita, disarankan menggunakan KTP milik saudara kandung atau ibu si perempuan WNI saat melakukan pembelian tanah atau bangunan.
“Nah, itu ada yang dinamakan perjanjian nominee. Jadi, pemilik asli dan pihak pemilik KTP membuat perjanjian rahasia yang menegaskan rumah tersebut meskipun atas nama adiknya atau ibunya, ya tetap kepemilikan di tangan perempuan WNI yang nikah sama orang asing itu,” paparnya.
Namun, perjanjian “rahasia” tersebut rentan disalahgunakan. Perjanjian nominee belum diakui di Indonesia. “Jadi, kalau misalnya pada kemudian hari si adik meninggal, ahli warisnya menuntut hak atas rumah itu, ya, ribet jadinya. Padahal, cara-cara ini kan enggak benar,” katanya.
Persoalan kepemilikan properti tersebut saat ini ramai dibicarakan. Salah satu anggota Perca bernama Ike Farida, mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ike yang juga pengacara menggugat UU Perkawinan dan UU Agraria terkait warga negara asing yang menikahi orang Indonesia tak bisa memiliki hak atas tanah berupa hak milik (HM) dan hak guna bangunan (HGB).
”Jadi ceritanya, dia ini (Ike) sudah membeli satu unit rumah susun. Setelah semua persyaratan lengkap, dia langsung membayar lunas. Namun, tidak lama setelah urusan beres, yang bersangkutan dihubungi lagi pengembangnya bahwa dia tidak bisa membeli rumah susun itu dan uangnya akan dikembalikan karena dia menikah dengan WNA. Tapi, dia enggak mau dan memilih maju ke MK. Perca sangat mendukung itu,” tegasnya.
Ketua Perca periode 2014- 2016 Juliani Luthan menambahkan, saat ini persoalan kepemilikan properti tengah diperjuangkan pihaknya. Dia menilai, para pelaku perkawinan campuran seperti dirinya, dirugikan dengan adanya larangan bagi WNI yang menikah dengan WNA memiliki properti berupa tanah atau bangunan.
”Yang menjadi tantangan kita yang paling besar saat ini, masalah kepemilikan properti. Karena itu, kita sampai menggalang petisi terkait kasus Ike Farida yang menggugat UU Perkawinan dan UU Agraria ke MK,” ujar perempuan yang bersuamikan WNA asal Jepang itu.
Menurut Juliani, saat memutuskan menikah dengan orang asing, ada beberapa persyaratan harus dipenuhi. Karena menyatukan dua orang beda negara, pernikahan juga harus didaftarkan di dua negara. Proses pendaftaran pernikahan tersebut juga harus mengikuti aturan masing-masing negara. Perempuan 45 tahun itu bersyukur persyaratan pendaftaran pernikahan di negara asal suaminya, yakni Jepang, tidak ruwet.
”Mungkin karena sistem administrasi kependudukannya sudah sangat rapi. Jadi begitu kita mau menikah ya dia dikeluarkan dari kartu keluarga sebelumnya dan dibikinkan kartu keluarga baru. Dari kartu keluarga lama tersebut, kita juga bisa tahu apakah calon suami kita itu masih lajang atau sudah menikah,” ujarnya.
Hal tersebut berbeda dengan proses pendaftaran pernikahan bagi WNA asal Prancis. Rulita menuturkan, jika ada WNI akan menikah dengan pria Prancis, dua bulan sebelum pernikahan tersebut akan ada pengumuman di sejumlah media pemerintah terkait status lajang pria tersebut. “Jadi, kayak ada pengumuman bunyinya gini, pria ini masih lajang dan dia akan melakukan pernikahan dengan orang ini, apakah ada yang keberatan. Kalau ada yang keberatan karena mungkin si pria ini ternyata sudah beristri, ya, tidak dibolehkan menikah. Dan, pengumuman itu dimuat di kedubes di sini dan juga di Prancis sana,” papar Rulita.
Meski begitu, umumnya pasangan mixed marriage bisa memenuhi persyaratan pencatatan pernikahan dari negara asal. Namun, di samping properti, yang kerap menjadi curhatan anggota Perca adalah ketidakpahaman terkait aturan hukum. Karena ketidakpahaman itu, mereka kerap “dikerjai” oknum-oknum pemerintah.
”Pernah ada anggota Perca mau mengurus izin tinggal di kantor imigrasi, dia kaget saat dimintai fotokopi bank account-nya. Alasannya, karena teman saya itu yang menjadi sponsor suaminya, jadi perlu dilihat kemampuan finansialnya. Padahal dalam aturan itu enggak ada. Akhirnya setelah dia telepon saya, dia bilang ke petugas imigrasinya bahwa syarat itu di aturan enggak ada dan dia adalah anggota Perca. Sudah, enggak jadi diminta deh,” kata Rulita.
Menurut Rulita, Perca sebagai organisasi perkawinan campuran cukup diakui di Indonesia. Bahkan, Kemenkum dan HAM kerap bekerja sama dengan Perca. Hingga saat ini, Perca sudah beranggotakan 700 orang. Perca juga memiliki cabang di Batam dan Bali. “Kami ingin Perca lebih luas lagi karena di daerah-daerah pasti banyak perkawinan campuran. Melalui perca kami bantu mereka melek hukum sehingga tidak mudah dibodohi,” imbuhnya. (ken/jpnn/bby/k9)
Sumber: http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/237428-perca-rumah-besar-perempuan-wni-bersuamikan-wna.html