Jakarta, HanTer - Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (FPDIP), Arteria Dahlan mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan keluarga petahana tetap dapat mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) karena hal itu merupkan hak konstitusional seorang warga negara untuk dipilih dan memilih. Hal itu pun menurutnya sebagai hadiah ramadhan bagi pegiat demokrasi di Indonesia.
"Ini hadiah ramadhan bagi pegiat demokrasi, minimal pesannya dapat sebenci apapun kita pada suatu kaum, tidak boleh menjadikan diri kita untuk bertindak tidak adil," kata Arteria Dahlan saat dihubungi, Rabu (8/7/2015).
Sebelumnya, MK dalam putusannya kemarin menilai bahwa syarat tidak punya konflik kepentingan dengan petahana bagi seorang calon kepala daerah telah melanggar konstitusi. Tak hanya itu, MK juga berangapan bahwa pasal tersebut bersifat diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia. Hal itu diucapkan hakim dalam sidang putusan uji materi Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Hakim memutuskan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 j ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.
Menurutnya, putusan MK ini seyogyanya menjadi pembelajaran bagi semua pihak bahwa norma dalam pasal tersebut tidak hanya inkonstitusonal, tapi juga melanggar HAM. Bahkan, ia mengaku sejak awal perumusan UU Pilkada maupun saat terlibat langsung dalam Panja Pilkada DPR terkait PKPU telah mengingatkan dan secara tegas menolak rumusan larangan atas petahana.
"Hal itu jelas-jelas inkonstitusional. Apa yang salah dengan petahana? Atau keluarga petahana? Apakah sudah ada penelitian dan kajian seberapa besar daya rusaknya terhadap demokrasi," tanya Arteria.
Sepanjang pengetahuan dirinya, yang merusak demokrasi itu bukan petahana karena petahana hanya derifatif dari perbuatan menyimpang. Sumber masalahnya adalah penyelenggara Pemilu yang tidak berintegritas dan bermain serta pengawas pemilu yang bermasalah. "Kalau penyelenggara pemilu dan Panwas sudah bekerja baik, kita tidak perlu khawatir dengan perilaku buruk petahana sekalipun. Karena mereka hanya merupakan pihak yang diatur dan diawasi," ungkapnya.
Ketua Badan Bantuan Hukum dan Advokasi DPP PDIP ini sependapat dan apresiasi terhadap MK yang berani memutus masalah petahana ini meskipun putusannya populis. "Toh sekalipun mempunyai ikatan darah atau perkawinan, para petahana juga harus berjuang di lapangan dengan sama kerasnya dengan pasangan calon yang lain. Jadi kekuasaaanya tidak diberikan atau dialihkan, tetapi tetap harus diperjuangkan," jelasnya.
Senada, Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Andalan (Unand) Padang, Khairul Fahmi sependapat dengan MK. Menurutnya, hak keluarga petahana tidak dapat dibatasi hanya dikarenakan ia berasal dari keluarga/kerabat kepala daerah petahana. "Yang harusnya dibatasi adalah penggunaan kekuasaan petahana," kata Khairul Fahmi.
Dia mencontohkan, penggunaan kekuasaan petahana yang harus dibatasi seperti penggunaan fasilitas jabatan, program pemda dan penggunaan birokrasi. Hal itu pun sudah diatur dalam UU Pilkada. "Cuma pembatasan tersebut dalam UU Pilkada harus dilaksanakan secara konsisten," harapnya.
Pemimpin Berkualitas
Wakil Ketua DPR, Fadli Zon juga mengapresiasi putusan MK tersebut karena konstitusi tidak melarang keluarga petahana dapat maju sebagai calon kepala daerah. Hal itu pun menurutnya sesuai dengan prinsip dari pelaksanaan Pilkada serentak 2015 yang sudah menjadi komitmen DPR bersama pemerintah untuk hasilkan pemimpin berkualitas. "Hubungan darah bisa saja bagus orang-orangnya karena kita ingin orang yang maju itu terbaik. Kita tunduk pada konstitusi," kata Fadli Zon.
Politisi Partai Gerindra ini secara pribadi berpandangan, putusan MK ini juga sebagai bentuk memperbaiki kualitas dari Pilkada. Sebab, tegasnya, Pilkada serentak 2015 ini memang bertujuan untuk menghasilkan Pilkada berkualitas yang dibarengi dapat menghasilkan kepala daerah berkualitas pula. "Saya pribadi harap pembatalan pasal ini memperbaiki hasil dari Pilkada. Kita juga ingin orang-orang terbaik dibawa kemajuan," tegasnya.
Perlu diketahui, permohonan uji materi pasal 7 huruf r UU Pilkada yang diajukan oleh seorang Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan. MK pun mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015," ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/7/2015).
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat bahwa idealnya suatu demokrasi adalah bagaimana melibatkan sebanyak mungkin rakyat untuk turut serta dalam proses politik. Meski pembatasan dibutuhkan demi menjamin pemegang jabatan publik memenuhi kapasitas dan kapabilitas, suatu pembatasan tidak boleh membatasi hak konstitusional warga negara.
Hakim menilai, Pasal 7 huruf r UU Pilkada mengandung muatan diskriminasi. Hal itu bahkan diakui oleh pembentuk undang-undang, di mana pasal tersebut memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas status kelahiran dan kekerabatan seorang calon kepala daerah dengan petahana.
"Dengan demikian, Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 j ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Tampak nyata pembedaan dengan maksud untuk mencegah kelompok atau orang tertentu untuk menggunakan hak konstitusi, hak untuk dipilih," ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Adapun Pasal 7 huruf r berbunyi: "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Pasal tersebut merupakan ketentuan dari Pasal 7 yang berbunyi: "Yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan adalah antara lain, tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan."
Aturan itu membuat sejumlah kepala daerah mundur dari jabatannya menjelang Pilkada serentak. Langkah itu dilakukan agar keluarganya bisa maju dalam Pilkada.
Sumber: http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/07/09/34628/43/25/Putusan-MK-Soal-Petahana-Kado-Ramadhan-Bagi-Pegiat-Demokrasi/2