Keputusan Mahkamah Konstitusi kembali menuai pro dan kontra. Apalagi kalau bukan soal uji materil Pasal 7 Huruf r Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015. MK membatalkan pasal yang oleh publik juga media kemudian diistilahkan politik dinasti atau politik kekerabatan.
Mafhum dan jamak kita temukan di banyak daerah fakta kepala daerah memiliki pertalian darah dengan kepala daerah lain dalam satu provinsi. Kementerian Dalam Negeri mencatat, hingga tahun lalu sebanyak 59 kepala daerah dan atau wakilnya merupakan keluarga petahan alias incumbent.
Contoh yang paling diingat barangkali di Banten. Ratu Atut Chosiyah Gubernur Banten (non aktif) dikelilingi kerabatnya di daerah tingkat dua. Si adik, Tatu Chasanah misalnya yang jadi Bupati Serang, Wali Kota Serang juga adik tiri Atut.
Landasan pemikiran penolakan pasal ini adalah kekhawatiran tumbuh suburnya praktik KKN, korupsi, kolusi juga nepotisme. Tentu, pintu-pintu konflik kepentingan akan kentara sekali bila politisi berkerabat ini mengikuti pilkada sementara keluarganya masih menjabat.
Memang, UU itu tak pula mengebiri habis hak tersebut. Setidaknya ada jeda waktu bagi kerabat petahana yang ingin serta di pemilukada. Apapun itu, realitanya Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan pasal tersebut.
Dan adalah hal wajar pula bila kemudian ada yang menentang pasal itu. Bukankah, pasca Orde baru jatuh dan Reformasi hadir, kita ingin demokrasi tegak di negeri ini. Maka, atas nama demokrasi mengapa ada pengekangan terhadap hak memilih dan dipilih bagi warga Negara. Atau jangan-jangan kita tak benar-benar siap berdemokrasi?
Coba kita menilik ke belakang sekilas. Pemilukada memiliki perangkat satu diantaranya adalah partai politik. Parpol inilah perahu utama bagi calon kepala daerah untuk ikut merebut suara.
Kalau kita mau jujur, tengok saja isi tokoh-tokoh parpol. Ayah, ibu, anak, suami, istri kadang bercokol dan mengakar di partai tertentu. Seolah, parpol dijadikan pengkaderan kekerabatan untuk menghantarkan kekuasaan. Lalu apa bedanya dengan politik kekerabatan yang dipersoalkan tersebut?
Sudah jadi rahasia umum, pendiri parpol juga petingginya turut menempatkan pula keluarganya di posisi strategis. Bila dalihnya demokrasi, maka mafhumi saja mereka yang menolak pasal 7 tersebut.
Kini yang terpenting adalah bagaimana pendidikan politik kepada khalayak berjalan. Mencerdaskan pemilih seharusnya menjadi tugas pegiat demokrasi bukan justru anti dengan politik dinasti.
Kita sepakat bahwa korupsi, kolusi juga nepotisme harus disingkirkan. Tapi tentu dengan tidak mengebiri hak warga Negara yang dijamin konstitusi. (*)
Sumber: http://jambi.tribunnews.com/2015/07/10/siapkah-kita-berdemokrasi