Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan tentang judicial review terhadap Pasal 21 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan oleh Mayor Jenderal (Purn) TNI Suwarna AF, pada hari Rabu 20 September 2006 pukul 10.00 WIB di ruang sidang gedung MK, Jl. Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.
Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan bahwa Pasal 21 ayat (1) khususnya pada frasa: dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran, telah bertentangan dengan hak-hak konstitusionalnya sebagai Gubernur aktif Propinsi Kalimantan Timur, seperti dirumuskan dalam Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945, dan tidak menjamin hak-hak asasi Pemohon sebagai individu warga negara, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 28D, Pasal 28G, dan Pasal 28I UUD 1945.
Berdasarkan alasan permohonannya, Pemohon menjelaskan bahwa dirinya telah ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 atau Pasal 56 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP, dalam pelaksanaan Program Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Sejuta Hektar di Kalimantan Timur yang diikuti dengan Penerbitan ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada tahun 1999-2002.
Alasan penahanan oleh KPK, salah satunya, bahwa tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Terhadap alasan di atas, Pemohon telah mengajukan pra peradilan ke Peradilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk memeriksa dan memutus apakah cukup ada alasan yang konkrit dan nyata yang dapat menimbulkan kekhawatiran bagi penyidik sebagaimana tersebut di atas. Kasus itu kemudian diperiksa secara marathon oleh Hakim Kreshna Menon, SH pada tanggal 20 26 Juli 2006. Keputusannya, permohonan Pemohon tersebut ditolak dengan alasan yang bersifat formal, bahwa telah terdapat surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Terhadap putusan di atas, Pemohon berpendapat bahwa Hakim Kreshna Menon, SH telah keliru menafsirkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP karena pasal tersebut tidak cukup jelas perumusannya dan juga tidak mendapat penjelasan yang sempurna sesuai dengan konsep-konsep hukum yang berlaku di negara-negara yang beradab yang mempergunakan asas praduga tak bersalah sebagai asas utama.
Pasal 21 ayat (1) KUHAP, tambah Pemohon, memberikan kekuasaan yang sangat menonjol bagi penyidik, sehingga tersangka dan terdakwa dalam posisi lemah dan tidak berdaya sehingga mereka juga takut mempergunakan lembaga pra peradilan karena kemungkinan mereka akan mendapat tindakan pembalasan dari penyidik.
Maka dari itu, dalam petitumnya Suwarna AF meminta supaya Majelis Hakim MK menyatakan bahwa Pasal 21 ayat (1) pada frasa: dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 28D, Pasal 28G, dan Pasal 28I UUD 1945, serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam pemeriksaan pendahuluan yang pertama ini, Ketua Sidang Panel, DR. Harjono, SH, MCL memberikan masukan berupa pertanyaan tentang kejelasan posisi hukum Pemohon. Dalam permohonannya, Pemohon belum menjelaskan secara jelas apakah dia sebagai perorangan atau Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Timur. Pemilihan posisi berkaitan dengan hal-hal yang didalilkan Pemohon ini nantinya berkait juga dengan yang ada di konstitusi. Fokusnya dipertajam dulu, sebagai individu atau Gubernur atau Kepala Daerah, jelas Harjono.
Sementara itu, Hakim Anggota Panel, Prof. DR. H. M. Laica Marzuki, SH mengingatkan Pemohon untuk juga merenungkan maksud dari frasa yang di-judicial review-kan. Karena, pada awalnya, frasa tersebut muncul dengan asumsi, bahwa tersangka yang memiliki kedudukan atau jabatan, tidak akan melarikan diri dari kasus yang dihadapi. Sedangkan mereka yang termasuk golongan miskin, justru dikhawatirkan akan lebih mudah melarikan diri dari kasusnya karena tanggung jawab rendah. Namun kini, sesuai dengan perkembangan jaman, ternyata tidak menjamin bahwa seorang pejabat atau konglomerat tidak akan melarikan diri. Buktinya, dewasa ini banyak konglomerat yang melarikan diri dari perkaranya, tegas Laica.
Sedangkan, Hakim Anggota Panel, H. Achmad Roestandi, SH, juga mengingatkan Pemohon untuk menyantumkan pula rujukan mengenai Pasal 50 UU MK yang membatasi pengujian undang-undang, yang semenjak 12 April 2005 telah dibatalkan oleh MK, karena, KUHAP lahir jauh sebelum UU MK disahkan.
Untuk perbaikan, anda kami beri waktu paling lama 14 hari. Setelah itu, kita tentukan persidangan selanjutnya, kata Harjono sebelum mengetukkan palu tanda akhir persidangan. (Wiwik BW)