Jakarta, HanTer-Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mantan narapidana dapat ikut serta dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dengan syarat tertentu.
Hal itu dinyatakan Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arif Hidayat saat membacakan amar putusan dari permohonan uji materi atas Pasal 7 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 (UU Pilkada) yang dimohonkan Jumanto dan Fathor Rasyid. "Mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arif Hidayat di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (10/7/2015).
Pengamat politik Adhie Massardie berpendapat apa yang diputuskan MK sudah benar. Menurut UU, kata Adhie, setelah lima tahun keluar dari penjara, mantan narapidana dapat mengikuti Pilkada. "Jadi tidak bisa menyalahkan MK dalam putusan ini. Karena secara hak kewarganegaraan sudah benar," kata Adhie kepada Harian Terbit di Jakarta, Jumat (10/7).
Dia mengatakan persoalan yang ada sekarang adalah yang menentukan berhak atau tidaknya seorang mantan narapidana adalah parpol yang mengusung. "Setelah parpol memilih mantan narapidana tersebut sebagai calon kepala daerah, barulah ke KPU dan akhirnya masyarakat yang akan memilih," tegasnya.
Akan tetapi, Adhie memprediksi dari sikap masyarakat yang permisif akan tindak pidana korupsi ataupun pidana umum lainnya, akan sulit bagi mantan napi melenggang sukses menjadi kepala daerah. "Parpol yang ada sekarang kan masih menggunakan mazhab mencari uang atau korupsi. Begitu juga dengan KPU yang rentan disuap oleh mantan napi tersebut. Namun semuanya akan kembali kepada masyarakat sebagai pemilih untuk tidak bakal memilih mantan napi," jelasnya.
"Masyarakat Indonesia harus pintar dalam memilih yang terbaik dan tidak akan mungkin terjebak dalam memilih calon kepala daerah nanti," tukasnya.
Untuk diketahui, dalam putusan tersebut MK menyatakan bahwa mantan narapidana boleh ikut serta mencalonkan diri dalam pemilihan dengan syarat, secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa mereka adalah mantan narapidana. MK memutuskan mengabulkan sebagian permohonan Pemohon terkait Pasal 7 huruf g UU Pilkada.
MK berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 7 huruf g UU Pilkada inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Pasal itu dianggap inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut, ...dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Lebih lanjut MK juga memutuskan bahwa Pasal 45 ayat (2) huruf k UU Pilkada yang menyebutkan bahwa peserta Pilkada haruslah seseorang yang tidak pernah dijatuhi pidana penjara, adalah bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kendati demikian terdapat tiga Hakim Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda, yakni Hakim Konsttitusi Maria Farida Indrati, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.