RMOL. Wacana penundaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang dijadwalkan 9 Desember 2015 kembali didengungkan DPR saat rapat konsultasi dengan pemerintah, Senin (6/7) lalu.
Yang paling menyita perhatian adanya masalah pada tenggat waktu penyelesaian sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK).
Wakil Ketua MK Anwar Usman yang hadir pada rapat tersebut menyampaikan, waktu penanganan sengketa hasil pilkada selama 45 hari kalender yang diatur Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada tidak cukup. Anwar Usman meminta batas waktu penyelesaian sengketa menjadi 60 hari kalender.
Melihat hal itu, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Gerindra berkesimpulan bahwa UU Pilkada dan UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang MK penting untuk direvisi. Karena tidak mengatur kewenangan MK dalam menangani sengketa pilkada.
Jika dua undang-undang tersebut direvisi, tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Pilkada serentak bakal terancam molor.
Bagaimana tanggapan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)? Simak wawancara Rakyat Merdeka dengan Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie berikut ini;
Perlukah pilkada diundur?
Kalau masalahnya waktu penanganan sengketa, PMK (Peraturan Mahkamah Konstitusi) kan bisa ngatur dirinya sendiri. Masak nggak bisa sih.
Memangnya bisa?
Bisa. Diatur saja di PMK. Khusus untuk Pilkada dibikin hari kerja disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang Pilkada.
Tak perlu menunggu dibuat aturan itu?
Ya. Nggak perlu, sudah diberi kewenangan buat ngatur.
Bagaimana kalau DPR nggaksetuju?
Kalau mereka tidak puas dengan aturan yang kita buat, mereka bisa ajukan judicial review. Ya dibuat saja aturannya. Kalau sebelum mulai pelaksanaan pilkada, semua orang kan sudah dibekali aturan yang berlaku. Sebagai rule of the game. Semua orang harus ikut. Jadi MK juga bisa membuat aturan sendiri tentang prosedur perkara.
Kewenangan diberikan kepada MK menurut undang-undang. Kenapa harus menuntut dibuat undang-undang, kan bikin repot. Jadi nggak usah mencari-cari alasan yang mempersulit diri sendiri. Kecuali maksudnya untuk tidak melaksanakan undang-undang. Itu lain lagi kan.
Wacana tersebut, apa mengganggu kinerja penyelenggara pilkada?
Penyelenggara pilkada harus jalan terus. Ini agenda bernegara. Jangan terganggu oleh cara berpikir sempit, karena kepentingan sendiri dari orang per orang atau satu lembaga. Apalagi dikaitkan karena untuk menekan KPU, supaya mengikuti jalan pikiran segolongan orang. Itu nggak bisa.
Mungkin ada kaitannya dengan masih bersengketanya Golkar dan PPP?
Orang kita mau bantu kok. Golkar harus kita bantu, PPP harus kita bantu, supaya bisa ikut (pilkada). Tapi nggak usah mencari-cari cara untuk menghambat.
Berarti kita nggak mau melaksanakan undang-undang. Kepentingan negara dikorbankan untuk kepetingan kelompok. Apa tidak malu ini bulan Ramadhan.
Sebaiknya bagaimana?
Kita harus mendahulukan kepentingan negara, kepentingan umum dari pada kepentingan golongan atau kepentingan individu. Apalagi kepentingan sesuatu lembaga.
Misalnya?
Misalnya hanya gara-gara kepentingan MK jadi repot, lalu kepentingan negara dikorbankan. Itu tidak boleh dong. Sikap kenegarawanan harus tercermin dari sikap tindak dari pejabat untuk menjalankan agenda negara. Semua harus merasa malu kepada the founding leaders, yang tidak mementingkan golongan, kepentingan individu, kepentingan institusi. Tapi kepentingan yang lebih luas yang harus diutamakan. Agenda negara harus tetap jalan. Kalau Golkar dan PPP lagi bermasalah, lho penyelenggara pemilu berusaha untuk mencari jalan keluar.
Apa solusi Anda untuk sengketa Golkar dan PPP?
Saya sendiri sudah memberi solusinya. Dikerjakan saja. Jangan karena pingin, lalu menekan-nekan, susah begitu. Marilah kita kembali ke niat awal, ketulusan bernegara. Kita belajar dari semangat kenegarawanan. ***
Sumber: http://www.rmol.co/read/2015/07/10/209568/Jimly-Asshiddiqie:-MK-Bisa-Buat-Peraturan-Sendiri,-Nggak-Perlu-Revisi-UU-MK-&-UU-Pilkada-