Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal 1 pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sardjito dihadirkan sebagai ahli oleh Pemerintah, pada sidang Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS), Rabu (8/7). Sardjito menyampaikan, bila LPS menjual seluruh saham bank gagal, termasuk juga menjual saham yang dibeli di pasar saham, maka telah terjadi pengambilalihan secara paksa oleh negara melalui LPS tanpa memerhatikan asas-asas kemanusiaan, keadilan, hingga kepastian hukum yang diamanatkan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
“Jika LPS bermaksud menjual sisa saham sebesar 0,0035 persen, pada dasarnya merupakan pemilik pemegang saham publik karena adanya interpretasi pada Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang LPS yang menyatakan bahwa LPS wajib menjual seluruh saham bank yang diselamatkan, maka menurut hemat kami terjadi pengambilalihan oleh negara melalui LPS tanpa memperhatikan asas-asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan, dan hal ini bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ujar Sardjito mencontohkan sisa saham yang dibeli di pasar saham milik Bank Mutiara selaku bank gagal yang diselamatkan LPS, di Ruang Sidang Pleno MK.
Di hadapan pleno hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Anwar Usman, Sardjito menyampaikan alasan inkonstitusionalitas dalil LPS, selaku Pemohon yang menginginkan dirinya bewenang menjual 100 persen saham bank gagal yang diselamatkan. Menurut Sardjito, niat LPS tersebut bertentangan dengan Konstitusi karena sejatinya kepemilikan saham oleh pemegang saham perseroan merupakan bagian dari bentuk penyertaan modal para pemodal pada perseroan terbatas. Penyertaan modal tersebut dilakukan saat pendirian maupun saat membeli saham perseroan ketika sudah berdiri secara langsung atau melalui pasar modal. Pembelian dilakukan dengan penawaran umum saham maupun lewat pasar sekunder di bursa efek atau di luar bursa efek.
Semua pemegang saham, baik pendiri maupun pemegang saham yang membeli saham secara langsung atau melalui pasar modal memiliki hak yang sama. Hal tersebut diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Hak sebagaimana dimaksud pasal tersebut, yakni hak untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam rapat umum pemegang saham (RUPS), dan menerima pembayaran deviden serta sisa kekayaan hasil likuidasi.
Selain itu, Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) UU PT juga menjelaskan bahwa saham memberikan hak kebendaan kepada pemiliknya untuk dijadikan sebagai agunan. Hak kebendaan tersebut dapat dipertahankan terhadap setiap orang sehingga kepemilikan atas saham perlu dilindungi. Sebab, perlindungan tersebut merupakan wujud nyata perlindungan atas harta benda yang dijamin Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
“Perlindungan (seperti yang diamanatkan, red) Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ini untuk pemegang saham dalam klasifikasi yang sama adalah sama, tidak membedakan antara pemegang saham pendiri maupun pemegang saham bukan pendiri. Lebih lanjut Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Hal ini bermakna bahwa pengambilan atau pengalihan hak pemegang saham atas saham yang dimiliki seseorang harus tetap memenuhi unsur perlindungan kepada pemiliknya dan tidak dilakukan dengan cara semena-mena,” tegas Sardjito.
Sardjito pun memiliki penjelasan terkait dengan dalil Pemohon yang menyatakan pengambilalihan saham bank gagal harus dikembalikan dengan semaksimal mungkin nilainya, sehingga membenarkan Pemohon untuk menjual seluruh saham bank gagal, termasuk saham yang dibeli di pasar saham.
Sardjito menjelaskan pengambilalihan harta benda untuk kepentingan umum oleh negara dapat saja dilakukan. Namun, pengambilalihan tersebut harus tetap menjamin dan menjaga asas keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan bagi pemilik benda yang diambil untuk kepentingan umum.
Penyerahan Hak
Dalam konteks penanganan bank dalam UU LPS, Sardjito juga meyakini bahwa ketentuan penanganan bank gagal dimaksud, didasari prinsip hukum yang mengatur penyerahan semua hak yang dimiliki oleh pemegang saham. Untuk itu, ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya penyerahan dari pemegang saham selaku pemilik hak kebendaan secara perdata.
“Ketentuan ini secara tersirat menunjukkan negara tidak semena-mena mengambil alih hak kebendaan seseorang tanpa adanya penyerahan secara sukarela dari pemiliknya. Surat pernyataan dari PSP (Pemegang Saham Pengendali, red) melepaskan hak kepemilikan apabila bank menjadi bank gagal dan diputuskan untuk diselamatkan mengandung makna pada saat LPS masuk ke bank gagal seketika, hak kepemilikan PSP dikuasai oleh LPS. Dengan demikian, setelah LPS melakukan penyertaan modal sementara atau disebut PMS tersebut, pemegang saham di bank gagal adalah LPS dan pemegang saham publik. Namun prosentase pemegang saham publik di bank gagal tersebut mengalami pengurangan prosentase kepemilikan atau yang dikenal sebagai terdilusi,” jelas Sardjito lagi.
Dengan demikian, Sardjito menyimpulkan kepemilikan saham publik dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), dan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang LPS tidak termasuk makna frasa “seluruh saham bank”. Artinya, pemegang saham publik tidak termasuk sebagai pihak yang harus menyatakan kesediaan untuk melepas dan atau menyerahkan kepemilikan sahamnya kepada LPS apabila bank menjadi bank gagal, dan diputuskan untuk diselamatkan atau dilikuidasi. (Yusti Nurul Agustin)