Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan yang diajukan beberapa Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Universitas Nusa Cendana, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal ini karena MK sebelumnya telah memutus perkara dengan Nomor 41 dan 46/PUU-XIII/2015 yang mempunyai pokok permohonan yang sama. Untuk itu, dalam permohonan ini Mahkamah memutuskan, Putusan Nomor 41 dan 46/PUU-XIII/2015, dengan perubahan-perubahan yang diperlukan (mutatis mutandis) berlaku juga terhadap permohonan para Pemohon. Demikian putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada Kamis (9/7) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Putusan Nomor 41/PUU-XII/2014 dan Nomor 46/PUU-XIII/2015 mutatis mutandis berlaku terhadap permohonan a quo,” ujar Arief saat membacakan amar putusan perkara No. 49/PUU-XIII/2015.
Berdasarkan Putusan Nomor 41/PUU-XII/2014, Mahkamah memutuskan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS harus dilakukan bukan sejak mendaftar sebagai calon melainkan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden serta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dengan demikian, PNS yang ingin mengikuti ajang Pilkada tidak lagi harus mengundurkan diri dari profesinya sejak mendaftar sebagai calon, melainkan dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon.
Kemudian dalam Putusan Nomor 46/PUU-XII/2014, Mahkamah memutuskan Pasal 7 huruf t dan huruf u UU Pilkada inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai calon Gubernur, calon Wakil Gubernur, calon Bupati, calon Wakil Bupati, calon Walikota, dan calon Wakil Walikota”. Dengan demikian, bagi anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pegawai Negeri Sipil, dan Pegawai BUMN/BUMD yang ingin mengikuti ajang Pilkada tidak harus mengundurkan diri saat mendaftar sebagai calon, melainkan dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon.
Sebelumnya, beberapa akademisi yang merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Cendanamengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) ini. Para Pemohon mempermaslahkan aturan yang mewajibkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk mengundurkan diri ketika mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Daerah.
Pada sidang perdana yang digelar pada Rabu (29/4) di Ruang Sidang Pleno MK, para Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU ASN dan Pasal 7 huruf t UU Pilkada. Menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945. Ketiga pasal tersebut dinilai para Pemohon bersifat diskriminatif.
Putusan serupa juga berlaku untuk perkara yang diajukan oleh permohonan Nomor 70/PUU-XIII/2015 yang diajukan oleh Sukri I. H. Moonti, seorang PNS yang berencana akan maju sebagai Calon Bupati Gorontalo dalam Pilkada serentak mendatang. Sukri menguji ketentuan pasal 7 Huruf t UU Pilkada. Sukri merasa dirugikan karena harus mengundurkan diri dari profesinya ketika ingin maju dalam Pilkada. (Lulu Anjarsari)