Keluarga korban tragedi Mei 1998 melakukan perbaikan permohonan atas uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) pada Rabu (8/7), di Ruang Sidang Pleno MK. Kuasa hukum Pemohon, Chrisbiantoro dan Tioria Pretty menyampaikan perbaikan terhadap sistematika permohonan dan konsistensi posista dengan petitum sebagaimana yang disarankan Majelis Hakim pada sidang terdahulu.
“Secara garis besar kami memperbaiki permohonan kami ke dalam tiga kategori yang pertama adalah sistematika permohonan yang juga menjadi salah satu masukan dari Majelis Hakim. Kemudian, konsistensi posita dan petitum. Dan yang ketiga adalah petitum,” ujar Chrisbiantoro dihadapan Majelis Panel yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Menurut Pemohon, konsistensi yang dimaksud adalah memfokuskan kerugian yang dialami para korban pelanggaran HAM dengan berlakunya UU Pengadilan HAM. Kemudian pada bagian petitum, Pemohon dalam petitumnya meminta tafsir konstitusional bersyarat atas Pasal 20 ayat (3) dan penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM, khususnya terkait frasa “kurang lengkap” dalam hasil penyelidikan pelanggaran HAM.
“Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk yang jelas sebagaimana Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Pengadilan HAM,” papar Tioria saat menjelaskan tafsiran konstitusional yang diinginkan Pemohon.
“Kami memohon tafsir agar dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan kurang lengkap adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat sebagaimana unsur-unsur tindak pidana yang dijelaskan pada pasal dan Penjelasan Pasal 8 dan 9 Undang-Undang Pengadilan HAM untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan,” imbuhnya dalam sidang perkara yang terdaftar dengan nomor 75/PUU-XIII/2015.
Para Pemohon yakni Paian Siahaan, orang tua Ucok Munandar Siahaan yang dihilangkan secara paksa pada kurun 1997-1998 dan Yati Uryati, Ibu dari Eten Karyana, korban dalam tragedi Mei 1998 menggugat UU Pengadilan HAM ke MK. Pihaknya menganggap sikap Kejaksaan Agung yang tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM atas adanya dugaan pelanggaran HAM berat atas Tragedi Mei 98 telah merugikan hak konstitusional para Pemohon. Tercatat, berkas penyelidikan pada sejumlah kasus pelanggaran HAM telah tujuh kali dikembalikan oleh Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM.
Berdasarkan surat yang diterima Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) perihal informasi mengenai perkembangan penanganan perkara pelanggaran HAM yang berat dengan nomor B-210/F.2/Fd.1/03/2013 atas peristiwa Trisakti, alasan Jaksa Agung belum melakukan penyelidikan karena kasus sudah dianggap tidak relevan lagi untuk diajukan ke tahap penyidikan. Hal ini dikarenakan DPR telah merekomendasikan bahwa peristiwa tersebut disidangkan di Pengadilan Militer dimana pelaku telah dinyatakan bersalah dan di hukum oleh Mahkamah Militer. Sedangkan atas laporan penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM atas Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Jaksa Agung mengembalikan berkas hasil penyelidikan ke Komnas HAM melalui surat Jaksa Agung RI Nomor: R-056/A/F.6/04/2008 tanggal 28 April 28 dengan petunjuk “ menunggu terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc”. Menurut Pemohon, Komnas HAM mencatat sejumlah kasus pelanggaran HAM belum terselesaikan di jalur hukum, diantaranya Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, Kerusuhan Mei 1998 dan Peristiwa Talangsari 1989. (Julie)