Jakarta, CNN Indonesia -- Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara serentak tak semulus yang dibayangkan. Dorongan menunda pilkada diembuskan Dewan Perwakilan Rakyat. Terlebih polemik baru selalu muncul tiap rapat gabungan antara pemerintah, Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara pilkada, dan DPR.
Kali ini persoalan muncul dari Mahkamah Konstitusi saat menggelar rapat konsultasi bersama DPR, KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, dan Kepolisian.
Dalam rapat itu, Wakil Ketua MK Anwar Usman mengatakan tidak mungkin dapat menyelesaikan sengketa pilkada dalam kurung waktu 45 hari. Oleh sebab itu Anwar meminta agar MK diberi waktu 60 hari kalender untuk menyelesaikan sengketa pilkada.
Padahal sebelumnya MK memiliki waktu 30 hari untuk menangani sengketa pilkada. Penambahan 15 hari diberikan atas beberapa pertimbangan seperti MK hanya akan menangani sengketa hasil, bukan proses. Pertimbangan dan penambahan waktu itu juga dilakukan atas sepengetahuan MK.
Terkait itu, Anwar meminta DPR merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. UU itu memang belum mengatur kewenangan MK dalam menangani sengketa pilkada. Selama ini MK hanya menangani sengketa pemilu.
Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin menanggapi positif usulan itu. Menurutnya, MK hanya memiliki waktu sekitar 37 menit untuk menyelesaikan satu sengketa pilkada apabila hanya diberi waktu 45 hari. Dia juga mendukung UU Pilkada direvisi.
Apabila usulan penambahan ini diterima, maka mau tidak mau Undang-Undang 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah harus kembali direvisi karena pengaturan waktu penyelesaian sengketa pilkada diatur dalam Pasal 157 ayat 8 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Namun usulan tersebut ditolak oleh anggota Komisi II dari Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo. Ia menilai tak ada lagi alasan bagi MK untuk menambah waktu penyelesaian sengketa. Hal serupa diutarakan oleh Wakil Ketua Fraksi NasDem Johnny G Plate.
Johnny bahkan mempertanyakan sikap DPR yang sepertinya tidak yakin pilkada dapat dilakukan akhir tahun ini secara serentak di 269 daerah. "Pihak penyelenggara pemilu tenang-tenang saja dan yakin bisa pilkada dilakukan dengan baik. Yang khawatir justru dari para pengawas, yakni DPR itu sendiri," ucapnya.
Sinyal penundaan mulai terasa sejak DPR meminta KPU merevisi Peraturan KPU tentang Pilkada dengan meminta dimasukannya poin hasil pengadilan terkini untuk mengakomodasi calon-calon kepala daerah dari partai-partai politik bersengketa.
Tak berhenti di situ, polemik baru muncul setelah KPU melakukan rapat konsultasi bersama Kementerian Dalam Negeri dan pimpinan DPR Mei lalu. KPU memberikan sinyal menerima permintaan revisi Peraturan KPU asal ada payung hukum yang kuat. Hal ini yang kemudian digunakan DPR untuk menggulirkan permintaan revisi UU Pilkada.
Selain itu, DPR meminta penjelasan dan tindak lanjut KPU atas hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan atas penyimpangan penggunaan anggaran Pemilu 2013-2014 sebesar Rp 334 miliar.
Kesiapan anggaran tak luput dari perhatian DPR. Sebelumnya Komisi II dan Komisi III DPR pun berkali-kali mempertanyakan kesiapan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti untuk mengawal penyelenggaraan pilkada. Belum dipenuhinya anggaran pengamanan pilkada pun sempat menjadi celah untuk menunda pilkada.
"Kalau kurang anggaran sampai Juli, jangan ambil reisiko. Apapun itu, Polri yang kami pertaruhkan," ucap Aziz.
Secara terpisah, Wakil Ketua DPR Fadli Zon membantah wacana penundaan pilkada serentak oleh DPR yang rencananya dimulai pada 9 Desember 2015. Menurutnya, berbagai upaya dilakukan untuk membuat pilkada berjalan demokratis, efektif, efisien, jujur, dan adil.
(pit)
Sumber: http://www.cnnindonesia.com/politik/20150707063721-32-64790/dorongan-penundaan-pilkada-serentak-mendadak-muncul-di-dpr/