Bakal Calon Bupati Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan Irwan Hamid perbaiki gugatan terhadap ketentuan yang mengatur definisi konflik kepentingan dalam Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang kedua perkara No. 79/PUU-XIII/2015 tersebut digelar Senin (6/7), di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada kesempatan itu, kuasa hukum Pemohon Ahmad Irawan menyampaikan telah melakukan perbaikan permohonan. Namun, perbaikan yang dilakukan oleh Pemohon tidak sampai pada substansi permohonan. Dengan kata lain, perbaikan dilakukan hanya pada sistematika permohonan beserta perbaikan penulisan.
“Terkait dengan hal yang kami perbaiki, Yang Mulia, yang pertama terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi. Di situ kami pada perbaikan ini kami telah mencantumkan terkait dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, yakni Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Yang kedua yang kami perbaiki, yakni pada bagian petitum, Yang Mulia. Kami telah mencantumkan juga pada poin III bahwa pasal dan penjelasan yang kami uji selain bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, kami minta juga untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya, terkait dengan penulisan frasa, pada seluruh bagian permohonan, baik itu pada bagian kesimpulan atau yang berada dalam bagian posita, sepanjang penulisan frasa, kami ganti dengan kata, Yang Mulia,” ujar Irawan di hadapan Panel Hakim Konstitusi yang diketuai Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Selain itu, Irawan juga menegaskan kembali bahwa Pemohon tidak akan memperluas gugatan. Pemohon tetap akan menggugat kata “ipar”, “mertua”, dan “menantu” dalam Pasal 7 huruf r UU Pilkada. Sebab, ketiga kata itu menurut Pemohon yang paling berkaitan dengan kepentingan konstitusional Pemohon.
Menanggapi hal tersebut, Patrialis mengatakan meski sidang kali ini merupakan sidang kedua, namun panel hakim tidak akan menanyakan jumlah ahli maupun saksi yang akan didatangkan oleh Pemohon. Sebab, perkara serupa terkait dengan pengujian UU Pilkada yang masuk ke MK dianggap sudah banyak. Untuk itu, Mahkamah menilai sudah cukup untuk mengambil putusan. Terlebih, waktu penyelenggaraan Pilkada sudah semakin dekat sehingga menganggap bahwa persidangan perkara Pilkada, termasuk yang diajukan Pemohon sudah cukup. “Untuk perkara yang Saudara tangani ini Mahkamah menganggap cukup. Jadi tanpa menghadirkan ahli maupun saksi, dan ini kita rencanakan akan diputus bersama-sama dengan perkara lain,” jelas Patrialis.
Usai mendengar penjelasan tersebut, Pemohon menyatakan setuju. Meski demikian, Pemohon tetap diperbolehkan memasukkan alat bukti keterangan tertulis ahli maupun kesimpulan.
Sebelumnya, Pemohon merasa keberatan dengan salah satu definisi konflik kepentingan yang menyebutkan ipar sebagai salah satu hubungan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Pemohon merasa ketentuan tersebut sangat merugikan hak konstitusional Pemohon, karena Pemohon tidak pernah membayangkan bisa mengendalikan saudara kandungnya untuk menikah dengan orang tertentu. Menjadi sangat merugikan bagi Pemohon, bila saat iparnya menjadi kelapa daerah, maka Pemohon tiba-tiba jadi ikut bertanggung jawab secara politik, akibat hubungan hukum ikatan perkawinan yang dilakukan oleh saudara kandung Pemohon.
Pemohon melihat dimasukkannya ipar ke dalam definisi hubungan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan, disebabkan adanya fenomena politik dalam proses pilkada di beberapa daerah. Meski di beberapa daerah hubungan ipar bisa berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antar petahana dengan bakal calon, Pemohon menampik hal yang sama dapat terjadi pada dirinya. “Sangat berbeda dengan pengalaman Pemohon yang justru ipar Pemohon Prinsipal kami adalah seteru Pemohon dalam dua kali pilkada yang dia ikuti selama ini yakni pada tahun 2013 dan 2008 di Kabupaten Pinrang,” ungkap pakar hukum tata negara kenamaan yang juga menjadi kuasa hukum Pemohon, Andi Irmanputra Sidin pada sidang pendahuluan yang digelar Rabu (1/7) di Ruang Sidang Pleno MK. (Yusti Nurul Agustin)