JAKARTA - Petisi dari Gilang Mahardika di Change.org memantik kontroversi hebat program Jaminan Hari Tua (JHT). Gilang menyerukan penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No 46/2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan Hari Tua, hanya satu hari setelah PP tersebut berlaku mulai 1 Juli 2015.
Dalam petisinya, Gilang menceritakan kegagalannya mencairkan dana JHT di BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK). Warga Yogyakarta ini memaparkan, ia hendak mencairkan seluruh dana JHT untuk digunakan sebagai tambahan modal usaha sebagai wiraswasta setelah mengundurkan diri dari pekerjaannya. Namun, Gilang gagal mendapatkan dana JHT karena masa kepesertaannya hanya lima tahun.
Saat hendak pencairan, berlaku aturan baru PP No 46/2015 tentang Jaminan Hari Tua. Dalam PP itu dinyatakan JHT hanya bisa dicairkan setelah masa kepesertaan 10 tahun. Itu pun hanya bisa diambil 10 persen dan 30 persen untuk pembiayaan perumahan. Sisanya bisa diambil setelah usia 56 tahun.
“Pada tanggal 1 Juli 2015, saya yang sudah bersukacita akan mendapatkan uang JHT yang akan saya gunakan untuk modal usaha, berakhir dengan mengunyah pil pahit,” tulis Gilang dalam petisinya.
Kasus yang dialami Gilang terjadi juga pada seseorang pekerja bernama Dina Damayanti. Dina berhenti bekerja dari sebuah perusahaan di Jakarta karena pindah pekerjaan ke Hong Kong. Lantas, perempuan bertubuh mungil ini bermaksud mencairkan seluruh dana JHT yang kepesertaannya sudah lebih dari 10 tahun. Ia sudah mengurus pencairan dana JHT sejak Juni 2015, tetapi tidak diberikan.
“Alasan petugas BPJS TK saat itu adalah dana baru bisa dicairkan setelah Agustus. Namun, dengan aturan baru, sekarang saya hanya bisa mencairkan dana JHT, 10 persen. Buat apa kalau hanya 10 persen,” tutur Dina dengan nada kesal.
Persoalan yang dialami Gilang dan Dina mewakili banyak kepentingan pekerja. Tidak heran, hanya tempo tiga hari, petisi dari Gilang mendapat dukungan dukungan hingga 80.000 lebih tanda tangan. Para penanda tangan sepakat menolak PP No 46/2015.
Sebelumnya, pencairan JHT menggunakan dasar hukum Perpres No 1/2009. Dalam perpres itu, pencairan dana JHT bisa dilakukan bila masa kepesertaan minimal 5 tahun dan usia 55 tahun dengan masa tenggang satu bulan.
Terbitnya PP No 46/2015 memang serbaterburu-buru. PP tersebut baru ditandatangani Presiden Joko Widodo 30 Juni 2015, padahal berlaku 1 Juli 2015. Rancangan PP sebelumnya sama sekali tidak diketahui isinya oleh pekerja. Tidak ada sosialisasi.
Namun ironisnya, pemerintah justru menyalahkan masyarakat. Presiden Joko Widodo menyebut masyarakat berpikir pendek, hanya memikirkan hari ini dan esok.
Pemerintah tetap mempertahankan PP tersebut dengan alasan untuk tujuan jangka panjang demi kenyamanan hari tua pekerja. Menjawab keresahan masyarakat, PP direvisi untuk pekerja yang mengundurkan diri atau di-PHK dapat mencairkan seluruh dana JHT. Di luar itu, pemerintah bersikeras mempertahankan dana baru bisa dicairkan penuh jika usia pensiun 56 tahun, pekerja meninggal dunia, dan pekerja cacat tetap.
"Ini sudah sesuai UU SJSN dan PP No 46/2015 sebagai regulasi turunannya," kata Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri.
Hanif menegaskan, pemerintah mempertahankan masa pencairan JHT sampai usia 56 tahun untuk memberikan perlindungan kepada para pekerja terhadap risiko yang terjadi pada hari tua. JHT merupakan sistem tabungan hari tua yang besarnya merupakan akumulasi iuran ditambah hasil pengembangannya.
Tetap Gugat
Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menegaskan revisi PP belum menjawab masalah. Menurutnya, tiga poin penting yang perlu direvisi, yaitu masa harusnya pencairan minimal lima tahun, dapat dicairkan seluruhnya, pencairan dapat dilakukan peserta aktif, tidak harus di-PHK atau mengundurkan diri.
Untuk itu, KSPI menyatakan siap mengajukan judicial review UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ini karena dalam UU itu yang mengatur dana JHT bisa diambil setelah kepesertaan minimal 10 tahun.
Timboel Siregar dari BPJS Watch juga mengatakan, revisi PP hanya agar korban PHK dapat segera mencairkan JHT tidak tuntas menjawab persoalan. Menurutnya, pembatasan 10 persen dana tunai perlu dinaikkan dengan syarat untuk kebutuhan mendesak dan produktif. Sementara itu pencairan untuk pembiayaan perumahan juga harus naik hingga 50 persen.
Selain itu, Timboel mengingatkan pemerintah, revisi PP akan menimbulkan persoalan baru. Dalam UU No 40/2004 Pasal 35 (2) menyatakan, JHT dapat dicairkan bila peserta meninggal dunia, cacat tetap, dan pensiun.
“UU tidak menyebutkan pencairan dana JHT dapat dilakukan bila peserta di-PHK. Jelas revisi PP yang akan dilakukan pemerintah melanggar UU,” tutur Timboel.
Berbeda dengan UU No 3/1992 tentang Jamsostek, tegas menyatakan dana JHT dapat dicairkan bila peserta meninggal dunia, cacat tetap, pensiun, dan korban PHK.
“UU No 40/2004 menghilangkan korban PHK dalam klausul yang dapat mencairkan JHT,” tutur Timboel.
Ia menegaskan, pemerintah juga tidak bisa menabrak UU seenaknya. Sebagai jalan keluar, ia menyarankan pemerintah bisa mengatasi dengan membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Perppu ini akan menjawab secara cepat kelemahan dari UU JHT. Itu karena DPR belum mengagendakan revisi UU SJSN dalam prolegnas.
Ia menegaskan, kekacauan PP JHT ini sebenarnya karena penyusunan PP JHT dilakukan secara abal-abal. Timboel menyebutkan PP seperti siluman, disusun tanpa ada uji publik. Tidak ada pekerja yang mengetahui penyusunannya, padahal PP ditujukan untuk kesejahteraan para pekerja.
Bahkan sampai sekarang, meski UU sudah ditandatangani presiden, wujud UU sampai sekarang belum ada. Kesembronoan pemerintah menyusun PP JHT ini yang akhirnya menjadi bom waktu.
Sumber: http://www.sinarharapan.co/news/read/150706111/kacaunya-pp-jaminan-hari-tua