PAKISTAN adalah sebuah negara yang unik. Perjalanan politik kebangsaannya dapat menjadi ibrah bagi bangsa ini, bahwa sebuah Negara berdasar agama belum tentu bisa berdiri tegak dinamis dan sejalan dengan wahyu itu sendiri.
Didirikan atas dasar separatisme primordial dengan Hindu India, Pakistan menjelma menjadi Negara demokrasi agama yang multi tafsir dan tumpang tindih dalam segi pemaknaan. Islam adalah garis utama Pakistan dan Islam selalu menjadi referensi primer bagi negeri ini bahkan ketika sosialisme diadopsi oleh Zulfikar Ali Bhutto yang sosialis. Benturan etnis, sektarianisme antar sunni syiah, pertumpahan darah dengan Ahmadiyah menjadi hal pokok yang menghiasi awal berdirinya negeri itu.
Situasi bentrokan antara nasionalis Sindi dan kaum Muhajir menjadi persoalan geoetnisitas pertama yang harus dibenahi. Kaum Muhajir (pendatang muslim dari India) tak diterima sepenuh hati penduduk asli Sind. Persoalan primordial ini semakin runyam ketika konflik bukan saja terjadi antara penduduk asli Pakistan dengan Muslim India berbahasa Urdu yang hijrah ke Pakistan. Benturan juga terjadi antara etnis Baluch dan Pathan di Baluchistan, etnis Bengali di Timur yang berujung berdirinya Negara Bangladesh. Empat etnis utama Pakistan yaitu Sindi, Baluch, Pathan dan Bengali menjadi etnis yang tak mampu dipersatukan identitas Islam.
Kebangsaan Pakistan juga sempat diuji ketika sektarianisme antar agama terjadi. Terdapat dua aliran besar di Pakistan, Sunni dan Syiah. Dua aliran ini tak pernah akur bahkan ketika Islamisasi dilakukan di masa mendiang Zia Ul Haque. Kaum Syiah merasa terancam oleh disahkannya hukum Islam mazhab Hanafi yang dianggap tak sejalan dengan Hukum Islam Mazhab Ja'fari. Syiah berseteru dengan sunni dalam soal hudud dan zakat. Persoalan menjadi semakin rumit ketika Syiah digempur secara militer oleh milisi gelap, Sipah-I Sahaba. Kini kaum Syiah juga mendapat tantangan dari militant Taliban Pakistan. Pembunuhan dan pemboman masjid syiah beberapa kali terjadi.
Apakah perseteruan hanya terjadi antara sunni dan syiah. Ternyata tidak. Sesama sunni pun demikian. Sunni Pakistan terbagi tiga aliran. Deobandi yang tergabung dalam Jamiat Ulama-I Islam, Barelvi yang tergabung dalam Jamiat Ulama-I Pakistan dan sunni ekstrem yang tergabung dalam Jamiat Islami. Ketiganya memang bersatu terutama dalam isu Islam dan Negara atau isu konstitusi Islam. Ketiga kelompok ini pernah membuat rezim Ayub Khan bertekuk lutut untuk kembali memberlakukan nama Republik Islam Pakistan setelah sebelumnya diubah menjadi Republik Pakistan. Ketiganya pun pernah bersatu dengan oposan sekuler dalam PNA (Pakistan National Alliance) dalam menghadapi PPP (Pakistan People Party) Zulfikar Ali Bhutto.
Sumber: http://news.okezone.com/read/2015/07/04/337/1176169/merenung-dari-pakistan
Tapi ketiganya ternyata masalah dalam sejarah Pakistan. Kelompok Islamis di atas pada awalnya tak begitu menyetujui pemisahan Pakistan dari India bukan saja karena ketidaksukaannya terhadap Muhammad Ali Jinnah, pendiri Pakistan yang dianggap sekuler, tapi juga karena paham nasionalisme yang dianggap ide impor dari barat. Kebijakan berbau Islam yang dilakukan para penguasa juga tak luput dari kritikan mereka. Contohnya, kebijakan menoleh ke Negara-negara Islam yang diterapkan Zulfikar Ali Bhutto, dianggap para ulama ketiga kelompok ini sebagai oportunisme semata.
Kelompok Jamiat Islami terkenal sebagai gerakan yang agak radikal terutama dalam cara mereka memandang keislaman kelompok lain dan juga nasionalisme sekuler. Abul A'la Al Maududi tokoh penting kelompok ini dianggap tokoh modernis yang mengancam sufisme bagi kalangan Barelvi. Bagi kalangan modernis lainnya, Maududi dianggap berbahaya karena pemikiran liberalnya. Bagi kalangan nasionalis sekuler, Maududi adalah benalu karena penentangan Maududi terhadap persamaan hak seluruh warga Negara. Jamaah Ahmadiyah dan Komunitas Kristen menjadi yang paling terancam dalam konstitusi bentukan kelompok Islam ini.
Meski berdasar Islam, fakta di lapangan menunjukkan lahirnya kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah. Kaum Ahmadiyah Qadiyan pernah mengalami pembunuhan pada 1953. Di era Bhutto, Ahmadiyah dipasung sehingga tak diperbolehkan memegang jabatan pemerintahan dan militer, meski Ahmadiyah telah ditetapkan sebagai agama di luar Islam.
Jamiat Islami dan Maududi juga terkenal agresif ketika menyikapi sosialisme Islamnya Zulfikar Ali Bhutto. Bagi mereka Islam takkan pernah dapat dicampur dengan sosialisme bahkan ketika ide Musawwah (persamaan) diterapkan. Islam tak cocok dengan isme apapun di luar Islam. Bagi Maududi, mereka yang menerima isme di luar Islam adalah murtad' juz'i yang akan mengantarkan pada murtad kulli.
Namun, anehnya fakta Islam sebagai ideologi pemersatu Pakistan tak pernah bisa tunduk ketika berhadapan dengan konfrontasi politik global. Situasi perang Afghanistan di masa Zia Ul Haque membuat kelompok Islamis tak berkutik untuk mengakui peran Amerika yang besar dalam membendung Soviet di Afghanistan. Jalinan Mujahidin Pakistan berperan aktif atas kerjasama solid antara intelijen Pakistan dan Amerika. Rumor Tiga A (Allah, Army, America) di sekitar Zia Ul Haque menjadi kenyataan tak terbantahkan. Jamiat Ulama-I Islam sampai hari ini adalah kelompok yang aktif dalam percaturan jihad Taliban di Afghanistan. Begitupun kelompok anonim lain dari Pakistan.
Perjalanan politik Pakistan di atas mengajarkan kepada kita bahwa Islamisme belum tentu dapat mengintegrasikan sebuah bangsa menjadi solid. Islamisme yang dibangun hanya dengan ukhuwah Islamiyah takkan pernah dapat menjalin ikatan kuat antar anak bangsa. Seandainya Pakistan memiliki Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Basyariyah seperti yang dipraktikkan di Indonesia, Pakistan akan kuat dan menjadi penentu di Asia Selatan. Sayang, Pakistan disibukkan konsolidasi kebangsaannya yang belum selesai.
Bersyukurlah di Indonesia ada Pancasila. Enam agama besar juga aliran kepercayaan terayomi dengan baik. Semua warga Negara mendapat hak sama. Kebangsaan Indonesia memang pernah diuji Islamisme baik secara konstitusional di badan Konstituante maupun secara frontal lewat DI-TII. Namun Islamisme Indonesia memilih caranya sendiri, akur dan berdamai dengan nasionalis. NU dan Muhammadiyah menjadi perekat antara kekuasaan dengan rakyat. NU dan Muhammadiyah juga menerapkan toleransi dalam melihat realitas keragaman Indonesia. Anggota kedua ormas tersebut bisa jadi sekaligus anggota partai nasionalis seperti PDI-P dan Golkar. Dalam bernegara, NU dan Muhammadiyah memandang Indonesia sebagai Darus Salam.
Oleh: Syarif Hidayat Santoso
Penulis adalah Alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember