batampos.co.id – Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang mantan Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota serta Bupati untuk mencalonkan diri pada pilkada Desember 2015 nanti untuk jabatan di bawahnya. Aturan ini dipastikan mengganjal niat mantan Gubernur Kepri Ismeth Abdullah untuk ikut Pilwako Batam nanti.
Ismeth Abdullah hampir lima tahun menjadi Gubernur Kepri. Mantan Ketua Otorita Batam (BP Batam) ini disebut-sebut bakal maju ke Pilwako Batam Desember nanti.
Menurut Ketua KPU Provinsi Kepri, Said Sirajudin, larangan itu telah diatur dalam Peraturan KPU Nomor 9 tahun 2015 pasal 7 ayat 1 huruf O.
“Kalau pernah menjabat sebagai gubernur tidak boleh mencalonkan diri sebagai wakil gubernur, walikota atau bupati. Kalau pernah menjabat sebagai wakil gubernur tidak boleh mencalonkan sebagai bupati, walikota atau wakilnya,” ujar Said kepada Batam Pos kemarin (3/7).
Masih kata Said, untuk mereka yang pernah menjabat sebagai walikota atau bupati tidak diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai wakil walikota atau wakil bupati.
”Jadi diharapkan partai politik hanya mencalonkan figur yang memenuhi syarat aturan pilkada termasuk syarat di pasal 7 ini,” imbuh Said.
KPU Kepri sendiri akan membuka pendaftaran calon Gubernur dan Wakil Gubernur tanggal 26 Juli hingga 28 Juli 2015 di kantor KPU Provinsi Tanjungpinang.
Kata Said, kepala daerah yang maju di Pilgub mendatang diwajibkan untuk mengundurkan diri sehari sebelum mendaftar ke KPU yakni tanggal 25 Juli nanti. ”Saat daftar harus mundur dari jabatan,” ujar Said Sirajudin.
Ismeth Menggugat
Larangan mencalonkan diri untuk jabatan di bawah jabatan yang pernah diemban sebelumnya oleh KPU itu digugat Ismeth Abdullah ke Mahkamah Konstitusi.
MK pun telah menyidangkan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Aturan ini digugat Ismeth dan I Gede Winasa, keduanya adalah mantan terpidana kasus korupsi pada saat menjabat sebagai kepala daerah.
Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 7 huruf G dan huruf O UU Pilkada. Diwakili Kuasa Hukumnya Ai Latifah Fardhiyah, Pemohon yang akan kembali mengajukan diri menjadi kepala daerah menganggap ketentuan tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Adapun Pasal 7 huruf G dan O UU Pilkada menyatakan ”Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan dalam huruf (G) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan huruf (O) menyatakan belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota”.
Ismeth Abdullah merupakan mantan Gubernur Kepulauan Riau periode 2005-2010 yang divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam kasus proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran.
Sedangkan I Gede Winasa adalah mantan Bupati Jembrana, Bali yang dijatuhi hukuman penjara dua tahun enam bulan oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi. I Gede Winasa terbukti melakukan korupsi proyek pengadaan pembangunan pabrik kompos berikut mesinnya selama menjabat sebagai bupati.
”Hambatan terhadap Pemohon I dan Pemohon II untuk maju kembali dalam Pilkada adalah pelanggaran fundamental terhadap hak-hak warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945,” ujar Ai pada sidang perkara nomor 80/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (2/7) lalu.
Menurutnya, hak untuk dipilih dan hak untuk memilih merupakan hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Adanya pembatasan dalam Pasal 7 huruf g dan o UU Pilkada, jelas Pemohon, merupakan suatu bentuk diskriminasi.
”Selain dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945, perlindungan terhadap hak politik warga negara juga diatur dalam UU Hak Asasi Manusia dan berbagai Kovenan Internasional,” imbuhnya.
Menanggapi permohonan, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Patrialis Akbar didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Aswanto menyarankan pemohon untuk menegaskan kedudukan hukumnya. Bukan hanya menjelaskan statusnya yang merupakan mantan terpidana, namun juga menjelaskan posisinya sebagai mantan kepala daerah. Hal tersebut berkaitan dengan Pasal 7 huruf o UU Pilkada yang juga diujikan.
”Untuk legal standing tadi harap ditegaskan bahwa kedudukannya si Pemohon sebagai apa karena sepanjang yang kami baca di dalam permohonan ini belum tercantum,” ujar Hakim Konstitusi Manahan.
Majelis Hakim juga menyarankan pemohon untuk memperkuat argumennya dengan mengutip pertimbangan Mahkamah serta putusan Mahkamah terhadap norma Pasal 7 huruf g yang sudah pernah diputus MK.
”Pada putusan tersebut Mahkamah sudah punya pandangan punya pendapat, bagi seorang yang pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang ancamannya lima tahun atau lebih itu boleh saja maju tetapi ada masa jeda lima tahun ada masa jeda lima tahun,” jelas Hakim Konstitusi Aswanto. (spt/bpos)