Jakarta - Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat sudah menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah Jokowi-JK. Komitmen tersebut sebagaimana dituangkan dalam dokumen Nawacita dan dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Menindaklanjuti amanat itu, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) bahkan telah berinisiatif untuk mengumpulkan sejumlah Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, termasuk Komnas HAM, untuk mendorong pembentukan sebuah komite penyelesaian.
Rencana pembentukan komite itu sendiri kini telah menuai polemik di publik, terutama terkait dengan mandat, ruang lingkup dan siapa yang akan terlibat di dalamnya.
Anggota Perkumpulan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Ifdhal Kasim, mengingatkan, penyelesaian kasus HAM berat tidak bisa begitu saja mengesampingkan proses hukum yang telah dimulai Komnas HAM. Utamanya terhadap tujuh kasus dugaan pelanggaran berat HAM, yang prosesnya saat ini sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung.
"Jangan sampai kemudian pembentukan komite justru menjadi ajang cuci tangan bagi Kejaksaan Agung, untuk mengambangkan seluruh proses hukum yang sudah berjalan," kata Ifdhal Kasim, Minggu (5/7).
Proses hukum tersebut merupakan mandat undang-undang (UU 39/1999 dan UU 26/2000), yang tidak dapat didiamkan begitu saja tanpa penuntasan. Yang mesti diingat, salah satu tujuan dari penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, adalah dimaksudkan untuk mengembalikan kedaulatan hukum, sebagai mandat dari prinsip negara hukum (the rule of law), seperti ditegaskan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Oleh karena itu, dalam setiap upaya pelembagaan kebijakan penyelesaian, haruslah sejalan dengan prinsip-prinsip dan kerangka negara hukum, dengan menjadikan hukum sebagai pedoman.
Bagian integral dari prinsip tersebut adalah juga dengan memastikan proses yang terbuka, transparan, dan partisipatif dalam penyusunan usulan kebijakannya. Termasuk, tidak menempatkan upaya pelembagaan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dalam ruang gelap, menjadi penanda penting telah adanya transformasi politik dari otoritarian ke demokrasi.
Elsam sendiri saat ini mendorong pembentukan Komite kepresidanan untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Ketimbang berdebat kembali untuk membentuk UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Selain momentumnya yang sudah terlalu lama, membaca peta politik parlemen hari ini juga tidak terlalu menguntungkan untuk mendorong kembali pembentukan UU KKR," ujarnya.
Dijelaskan, putusan MK terdahulu, dalam pengujian UU KKR dapat menjadi basis legal sekaligus memberi legitimasi bagi pembentukan komite. Dalam putusannya, MK menggarisbawahi arti penting penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu, yang bisa dilakukan dengan pembentukan kebijakan hukum atau suatu kebijakan politik.
Pilihan kebijakan politik itulah yang kemudian diterjemahkan RPJMN dengan langkah pembentukan suatu komite bersifat ad hoc di bawah presiden, untuk memfasilitasi proses pengungkapan kebenaran, yang dapat menjadi dasar bagi langkah-langkah lanjutan dalam memenuhi hak korban.
Pembentukan komite diharapkan dapat memastikan adanya penuntasan kasus-kasus masa lalu, yang selama ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi, meski langkah aksi dan pelembagaan kebijakan dapat dirumuskan dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda.
Namun secara prinsipil, keseluruhan tindakan tersebut terikat pada prinsip-prinsip umum yang diakui secara universal, yakni pada kewajiban negara dalam penyelesaian pelanggaran HAM.
Elsam juga merekomendasikan kepada seluruh pemangku kepentingan yang terkait dalam persiapan penyelesaian, khususnya Komnas HAM, Jaksa Agung, dan Menkopolhukam, termasuk juga Presiden.
Yakni Jaksa Agung tetap harus menyikapi tujuh kasus yang telah diserahkan oleh Komnas HAM. Sebagai langkah awal yang dapat dijajaki, adalah realisasi rekomendasi DPR guna membentuk Pengadilan HAM ad hoc kasus penghilangan orang secara paksa periode 1997-1998.
Langkah-langkah yang lebih bersifat jangka panjang, sebagai upaya melakukan integrasi sosial, dapat dilembagakan sebagai bagian dari realisasi rekomendasi Komite. Langkah ini bisa dilakukan melalui pengembangan kemitraan dengan masyarakat untuk mendukung inisiatif-inisiatif pencegahan keberulangan.
Selain itu, penting pula bagi presiden untuk secara khusus memberikan atensi bagi seluruh rencana dan agenda penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, yang saat ini tengah berjalan.
Setiap informasi yang berkaitan dengan agenda tersebut harusnya berada di bawah kendali Presiden. Semua dilakukan untuk menunjukan adanya konsistensi serta kejelasan arah dan sikap dari pemerintah.
Yeremia Sukoyo/FMB
Sumber: http://www.beritasatu.com/hukum/288608-elsam-penyelesaian-kasus-ham-berat-jangan-kesampingkan-proses-hukum.html