Perseteruan antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) yang bergulir ke Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya akan diputuskan pada tanggal 23 Agustus 2006 pukul 14.00 WIB di ruang sidang MK Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta. Sidang putusan perkara No. 005/PUU-IV/2006 yang diajukan 31 hakim agung dari MA ini berupa putusan atas permohonan pengujian beberapa pasal dalam UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY) dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK). Permohonan ini terkait dengan adanya pasal-pasal yang menyatakan hakim agung (termasuk di dalamnya Hakim Konstitusi dari MK) menjadi obyek pengawasan serta dapat diusulkan penjatuhan sanksi oleh KY.
Menanggapi permohonan tersebut, dalam keterangan lisannya (2/5), Dr. Hamid Awaludin, S.H. (Menteri Hukum dan HAM) menyampaikan pendapatnya bahwa kepentingan KY merupakan lembaga negara yang tugas dan fungsinya bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, walaupun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Menurut Hamid, KY memiliki tugas untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Hal ini sebagai kehendak yang kuat dari pembuat undang-undang agar dapat terwujud mekanisme checks and balances terhadap pelaksanaan independensi kekuasaan kehakiman dan cabang-cabang kekuasaan lainnya, kata Hamid.
Drs. H. Lukman Hakim Syaefudin mewakili DPR (2/5) menjelaskan bahwa dalam penyusunan naskah perubahan UUD 1945, ada semangat terjadinya checks and balances, saling mengimbangi dan saling kontrol di antara lembaga negara yang ada, termasuk juga terhadap Mahkamah Agung. Karena selama ini, para hakim agung tidak tersentuh, ujarnya.
Salah seorang pemohon prinsipal, Djoko Sarwoko menyatakan dirinya dan rekan-rekannya tetap berpendapat bahwa obyek pengawasan perilaku hakim tidak termasuk hakim agung. Argumen Djoko, selain karena antara hakim tingkat pertama dan tingkat banding berbeda aturan dan persyaratannya dengan hakim agung, dalam MA terdapat Majelis Kehormatan Mahkamah Agung yang pembentukannya didasarkan Pasal 12 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Alasan lainnya secara teknis persyaratan untuk menjadi dan diangkat menjadi hakim agung lebih berat daripada persyaratan untuk menjadi anggota KY, jelas Djoko pada persidangan sebelumnya (27/6).
Menanggapi hal itu, Pihak Terkait Langsung Wakil Ketua KY M. Thahir Saimima menjelaskan alasan yang mendorong diterbitkannya UU KY salah satunya adalah kegagalan sistem yang ada dalam menciptakan pengadilan yang lebih baik.
Persidangan yang sangat menarik perhatian masyarakat ini telah melalui tujuh kali persidangan. Selama persidangan tersebut, antara lain melibatkan Pihak Terkait Tidak Langsung (KRHN, ICW, LBH Jakarta, Kontras), serta para saksi yang merupakan mantan anggota PAH I BP MPR diantaranya, Harun Kamil, S.H., Mayjen. Pol. (Purn.) Drs. Soetjipno, Drs. Baharudin Aritonang, M.Hum., Patrialis Akbar, S.H., dan Soetjipto, S.H. Dihadirkan pula para ahli dari Pihak Terkait Langsung (KY) yaitu: Prof. Dr. H. Mahfud MD, Prof. Dr. Amran Halim, Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D., dan Drs. Agun Gunanjar.