JAKARTA - Pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki, menilai larangan ipar petahana ikut dalam pilkada sebagaimana disebut dalam Pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 2015, merupakan norma yang bertentangan dengan prinsip negara hukum.
Dalam koridor konstitusionalisme, katanya, pembatasan hak politik pencalonan harusnya didasarkan pada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan itupun pada umumnya bersifat individual dan tidak kolektif.
"Semangat pembatasan konflik kepentingan calon kepala daerah dengan petahana tidak boleh dilakukan secara serampangan berdasarkan pertimbangan yang bertentangan dengan prinsip negara hukum,” ujarnya saat dihubungi Okezone di Jakarta, Jumat (3/7/2015).
Lebih lanjut Direktur Asia Pacific Law Institute and Constitutional Reform (Aplicore) UII itu menilai, larangan ipar petahana ikut pilkada tanpa pijakan logika hukum yang memadai. Bahkan menurutnya berlebihan dan kebablasan.
“Meskipun Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 telah memuat ketentuan dimungkinkannya pembatasan hak dan kebebasan seseorang dengan undang-undang, tapi jangan lupa pembatasan tersebut haruslah didasarkan alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional, serta tidak berkelebihan,” terangnya.
Sehingga dia mengingatkan DPR, Pemerintah, dan KPU untuk meninjau ulang norma pengelompokan ipar sebagai hubungan kekerabatan yang masuk dalam konteks konflik kepentingan dengan petahana tersebut.
“Patut disayangkan bila semangat dan emosi dari para pembentuk UU akhirnya justru menghasilkan norma yang tidak memiliki rasio logis atau bahkan rasio konstitusional. Saya kira norma ini patut segera direvisi,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi tengah menangani perkara uji materi Pasal 7 UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Pasal 7 UU Pilkada berbunyi: "Yang dimaksud dengan tidak memiliki konflik kepentingan adalah antara lain, tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan."
Risna Nur Rahayu
Jurnalis