Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Uji materi tersebut diajukan oleh Ismeth Abdullah dan I Gede Winasa, keduanya adalah mantan terpidana kasus korupsi pada saat menjabat sebagai kepala daerah.
Para Pemohon menguji ketentuan Pasal 7 huruf g dan huruf o UU Pilkada. Diwakili Kuasa Hukumnya Ai Latifah Fardhiyah, Pemohon yang akan kembali mengajukan diri menjadi kepala daerah menganggap ketentuan tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Adapun Pasal 7 huruf g dan o UU Pilkada berbunyi:
Pasal 7
Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
…
(g) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
…
(o) belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk Calon Wakil Gubernur, Calon Wakil Bupati, dan Calon Wakil Walikota.
Ismeth Abdullah merupakan mantan Gubernur Kepulauan Riau periode 2005-2010 yang divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam kasus proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran. Sedangkan I Gede Winasa adalah mantan Bupati Jembrana, Bali yang dijatuhi hukuman penjara dua tahun enam bulan oleh Mahkamah Agung di tingkat kasasi. I Gede Winasa terbukti melakukan korupsi proyek pengadaan pembangunan pabrik kompos berikut mesinnya selama menjabat sebagai bupati.
“Hambatan terhadap Pemohon I dan Pemohon II untuk maju kembali dalam Pilkada adalah pelanggaran fundamental terhadap hak-hak warga negara sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Lebih dari itu, seharusnya narapidana yang telah selesai menjalani masa hukumannya telah menjadi manusia dengan hak-hak yang sama sebagaimana warga negara lainnya,” ujar Ai pada sidang perkara nomor 80/PUU-XIII/2015 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (2/7).
Menurutnya, hak untuk dipilih dan hak untuk memilih merupakan hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. Adanya pembatasan dalam Pasal 7 huruf g dan o UU Pilkada, jelas Pemohon, merupakan suatu bentuk diskriminasi. “Selain dinyatakan secara tegas dalam UUD 1945, perlindungan terhadap hak politik warga negara juga diatur dalam UU Hak Asasi Manusia dan berbagai Kovenan Internasional,” imbuhnya.
Menanggapi permohonan, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Patrialis Akbar didampingi Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Aswanto menyarankan pemohon untuk menegaskan kedudukan hukumnya. Bukan hanya menjelaskan statusnya yang merupakan mantan terpidana, namun juga menjelaskan posisinya sebagai mantan kepala daerah. Hal tersebut berkaitan dengan Pasal 7 huruf o UU Pilkada yang juga diujikan. “Untuk legal standing tadi harap ditegaskan bahwa kedudukannya si Pemohon sebagai apa karena sepanjang yang kami baca di dalam permohonan ini belum tercantum,” ujar Hakim Konstitusi Manahan.
Majelis Hakim juga menyarankan pemohon untuk memperkuat argumennya dengan mengutip pertimbangan Mahkamah serta putusan Mahkamah terhadap norma Pasal 7 huruf g yang sudah pernah diputus MK. “Pada putusan tersebut Mahkamah sudah punya pandangan punya pendapat, bagi seorang yang pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang ancamannya lima tahun atau lebih itu boleh saja maju tetapi ada masa jeda lima tahun ada masa jeda lima tahun,” jelas Hakim Konstitusi Aswanto. (Lulu Hanifah)