Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) - Perkara Nomor 50/PUU-XIII/2015 pada Kamis (2/7) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pihak Terkait, dalam hal ini Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (HKPI) dan Komisi Informasi Pusat (KIP).
HKPI yang diwakili oleh Azet Hutabarat menyampaikan bahwa Pasal 69 ayat (2) UU Kepailitian tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki keterkaitan dengan pasal-pasal yang lain dalam UU Kepailitan.
“Jadi pasal ini tidak berdiri sendiri. Keterkaitan pertama adalah apabila kita mengacu kepada Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan yang menyatakan bahwa debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaan yang termasuk dalam harta pailit sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Sehingga jika Pasal 69 ayat (2) ini menjadi keberatan, tentu akan berbenturan dengan ketentuan yang ada, yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1), jadi debitur kehilangan haknya untuk mengurus dan kewenangan itu diberikan kepada kurator oleh undang-undang,” kata Azet Hutabarat yang juga Ketua Dewan Komite Etik HKPI.
HKPI juga berpendapat, esensi dari kehilangan hak debitur untuk mengurus haknya secara nyata menjadi asas yang kuat seperti diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan yang menyebutkan, “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang mengurus dan membereskannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas, sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”
“Tentu apa yang menjadi keberatan Pemohon adalah materi yang sangat penting, mengikat, dan terkait dengan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan, sehingga tidaklah mungkin kurator dapat melakukan atau tidak melakukan, sebagaimana yang menjadi keberatan apabila pasal ini tidak ada,” ujar Azet.
Dikatakan Azet, Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan memiliki keterkaitan dengan Pasal 69 ayat (2) karena tugas kurator adalah mengurus dan melakukan pemberesan. Menurutnya, sangat sulit di lapangan apabila kurator harus meminta persetujuan debitur pailit, dalam arti organ-organ perusahaan badan hukum yang pailit tersebut.
Sementara itu, komisioner KIP Evi Trisulo mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), hal-hal yang menyangkut kebijakan publik harus dibuka. Evi menjelaskan, putusan-putusan pengadilan termasuk menyangkut kepailitan seseorang dan sebagainya, merupakan salah satu bentuk kebijakan badan publik yaitu pengadilan. Hal ini mempunyai pengertian bahwa karena menyangkut aset seseorang dalam perkara, maka debitur pailit bisa dikategorikan menjadi bagian-bagian yang memberikan dampak kepada suatu kepentingan publik.
“Menyangkut aset dari seseorang itu tadi, bahwa meskipun Pasal 17 menyebutkan hal tersebut merupakan informasi yang dikecualikan. Namun demikian, di Pasal 18-nya menyatakan bahwa hal tersebut apabila atas persetujuan dari yang bersangkutan, maka hal tersebut bukan merupakan dari kategori informasi yang dikecualikan.,” papar Evi, salah satu Komisioner KIP.
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah Tato Suwarto sebagai pendiri, pemegang saham dan direktur Utama PT. Batamas Jala Nusantara, perseroan yang didirikan pada 1986 dan berkedudukan di Batam. Saat krisis ekonomi tahun 1998, mitra Pemohon selaku Direktur Utama PT. Batamec menyatakan tidak mampu menjalankan usaha, sehingga solusinya adalah pergantian jabatan Pemohon yang semula menjabat Komisaris Utama menjadi Direktur Utama PT. Batamec. Sementara mitra asingnya yang semula menjabat Direktur Utama menjadi Komisaris Utama PT. Batamec.
Pemohon menuturkan, Ia dinyatakan pailit dan merasa dicurangi oleh partner asing OTTO Industrial Co Pte Ltd Dkk dengan menguasai aset PT. Batamas Jala Nusantara dan operasionalnya oleh mitra asing, melalui kepailitan curang terencana dengan memasukkan keterangan alamat yang tidak sebenarnya ke dalam permohonan pernyataan pailit. Padahal mereka mengetahui tempat kedudukan PT. Batamas Jala Nusantara yang sebenarnya.
Atas kepailitan yang dialami oleh Pemohon, maka Pemohon telah dipidana penjara selama 10 bulan. Hal ini mengakibatkan kurator dapat dengan leluasa melawan hukum dan melawan hak, melakukan lelang terhadap barang-barang bergerak termasuk lelang saham pesero dan lelang barang-barang tidak bergerak dengan pembelinya dari lingkungan sendiri. Pemohon menganggap telah kehilangan hak mengurus harta pailit yang termasuk dalam sita umum kepailitan yang pengurusannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Untuk itu, Pemohon menilai Pasal 69 ayat 2 huruf a UU Kepailitan yang menyatakan: “Dalam melaksanakan tugasnya, Kurator tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada Debitor atau salah satu organ Debitor, meskipun dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan,” tidak memberikan batasan yang tegas terhadap tugas seorang kurator. Pasal a quo dianggap memberikan hak yang dominan dan tidak terbatas terhadap seorang kurator dengan menempatkan kedudukan debitur selaku pemilik harta pailit sebagai pihak luar dalam proses pengurusan dan pemberesan harta pailit. (Nano Tresna Arfana)