Frans Agung: Surat Edaran KPU Melanggar Konvensi Internasional
Rabu, 01 Juli 2015
| 10:00 WIB
RMOL. Sesuai dengan pembagian yang sudah diatur dalam UU 8/2015, tahun ini akan ada 269 daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang melaksanakan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Masalahnya, Pilkada Serentak yang dijadwalkan 9 Desember 2015 itu masih menyisakan sejumlah persoalan, salah satunya kelemahan regulasi.
"Seperti yang saya pernah utarakan sebelumnya bahwa UU 8/2015 yang merupakan perubahan UU 1/2015 masih menyisakan sejumlah persoalan norma. Misal, ada ketentuan yang lahir di luar proses di DPR, mandulnya penegakan hukum karena tidak ada sanksi pidana bagi pelaku politik uang dan jual beli dukungan atau mahar partai politik," kata anggota Komisi II DPR RI, Frans Agung MP Natamenggala, dalam siaran persnya (Selasa, 30/6).
Karena tidak ada sanksi pidana bagi politik uang dan mahar politik maka sanksi administrasinya pun tidak dapat ditegakkan, karena harus ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebelum dilakukan pembatalan. Padahal, materil sanksi pidana menjadi dasar pengadilan menjatuhkan putusan.
Selain itu, lanjut Frans, keberadaan surat Edaran KPU 302 juga meresahkan karena dengan Surat Edaran tersebut seolah-olah petahana yang mundur sebelum pendaftaran dapat mengajukan keluarganya untuk berkompetisi. KPU perlu menyadari bahwa Surat Edaran tidak boleh mengatur dan memperluas makna serta mengatur hal yang bertentangan dengan UU.
Frans berpendapat, merupakan takdir Tuhan bila seorang anak lahir dari orang yang kemudian menjabat Gubernur. Karenanya, hak orang tersebut untuk maju dalam Pilkada pun tidak boleh didiskriminasi.
"Saya kira seharusnya KPU bersabar karena ketentuan terkait petahana sedang diuji di MK. Norma larangan konflik kepentingan dengan petahana di dalam syarat calon bertentangan dengan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, dan Indonesia salah satu negara peratifikasinya. Rumusan norma seharusnya melarang penyalahgunaan jabatan, bukan melarang hak konstitusional," terang politisi Partai Hanura ini.
Dia mengkritik KPU yang kerap mengeluarkan Surat Edaran. Padahal karena Surat Edaran pula Kebijakan KPU diuji di DKPP ketika Pileg dan Pilpres tahun lalu. Contoh kasus, terkait pembukaan kotak suara dalam menyiapkan dokumen di Mahkamah Konstitusi ketika PHPU Presiden tahun 2014. Selain itu, menurut dia seharusnya KPU lebih berhati-hati di tengah sorotan publik terkait temuan Audit BPK yang menyebut ada dugaan penyelewengan anggaran negara.
"UU 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu jelas menyatakan bahwa pengaturan terkait penyelenggaraan pemilu harus diatur dalam Peraturan KPU. Sangat diharamkan pengaturan penyelenggaraan pemilu diatur di dalam Surat Edaran. KPU harus taat hukum, dimana pengaturan penyelenggaraan Pemilu harus diatur di dalam Peraturan KPU," terangnya. [ald]