Sidang perkara pengujian materiil Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (UU LPS) yang dimohonkan oleh LPS kembali digelar, Senin (29/6) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, Pemohon menghadirkan dua orang ahli yang menguatkan permohonannya, di mana LPS berhak menjual seluruh saham bank gagal, termasuk saham bank gagal yang dibeli masyarakat di pasar saham atau bursa efek.
Pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menyampaikan keahliannya di hadapan pleno hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat. Zainal menyampaikan LPS dibentuk dengan latar belakang pengalaman krisis yang terjadi di Indonesia. Dengan LPS, konsep tata cara penanganan krisis, termasuk mekanisme penanganan bank gagal yang berdampak sistemik maupun tidak, telah diatur.
Lebih lanjut, Zainal mengatakan bahwa dalam konteks penyelamatan perbankan, khususnya bank yang berdampak sistemik, LPS tidak dapat memilih langkah penyelamatan atau tidak. Hanya berdasarkan keputusan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) saja, LPS kemudian yang dapat mengambil langkah. “Begitu keputusan FKSSK diambil, maka LPS tidaklah dapat menolak atau memilih untuk tidak melakukan penyelamatan. Meskipun boleh jadi (LPS, red) telah tahu bahwa bank tersebut tidaklah sehat ataulah tidak dapat dipertahankan karena ini berkaitan dengan tugas yang diwajibkan oleh undang-undang,” ujar Zainal.
Menurut Zainal, ketentuan tersebut juga berlaku dalam hal penjualan, di mana LPS diwajibkan untuk melakukan penjualan saham bank gagal. Bahkan, LPS juga diwajibkan mengembalikan hasil penjualan dengan optimal.
“Artinya, tentu menjadi suatu yang sangat tidak tepat secara hukum jika lembaga yang dibuat khusus untuk melakukan penyelematan, lalu diwajibkan untuk melakukan penjualan yang dalam penjualan tersebut diwajibkan mengembalikan dana talangan negara dengan keadaan optimum, tetapi tanpa aturan hukum yang jelas mengenai apakah seluruh saham, dalam hal ini termasuk saham milik publik dapat dijual atau tidak. Padahal ketika diambil, jelas-jelas itu adalah upaya untuk menyelamatkan bank secara keseluruhan dan bukan hanya menyelematkan para pemilik saham mayoritas yang dimiliki oleh sebuah bank,” jelas Zainal lagi.
Menurut Zainal, kepastian hukum bagi LPS dalam melakukan penjualan saham bank gagal penting agar kemudian tidak muncul penafsiran bahwa penjualan saham bank gagal sebagai kerugian negara. Selain berhubungan dengan keuangan negara, ketentuan penjualan saham bank gagal oleh LPS juga terkait erat dengan hak publik atau masyarakat yang memiliki saham.
“Karenanya tentu saja kepastian hukum boleh atau tidaknya penjualan yang dilakukan oleh LPS menjadi sangat penting. Lembaga negara seperti LPS yang menjalankan fungsi negara dan punya kewajiban secara tertutup oleh undang-undang malah tidak diberikan kepastian mengenai penjualannya,” tegas Zainal.
Dalam kesempatan yang sama, Zainal juga mengatakan bahwa kata “seluruh” pada Pasal 30 ayat (1), Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 42 ayat (1) UU LPS mustahil untuk diterjemahkan selain keseluruhan dalam konteks 100 persen. Dengan kata lain, Zainal menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut dapat dimaknai bahwa LPS berhak menjual seluruh saham bank gagal, termasuk saham masyarakat (yang membeli saham bank gagal dimaksud, red) di pasar modal untuk mendapatkan pengembalian hasil penjualan dengan nilai optimal.
“Sebagai kesimpulan. Pertama, LPS tentu saja harus mendapatkan kepastian hukum untuk penjualan ini. Boleh menjual dalam artian keseluruhan seratus persen atau hanya boleh menjual tidak termasuk saham milik publik. Dalam bayangan saya, sebagaimana yang dibaca dalam permohonan. LPS tentu tidak dalam posisi memaksa karena sifat LPS tentu saja hanyalah pelaksana dari undang-undang sebagaimana sifatnya sebagai lembaga negara. Akan tetapi dengan ketiadaan kepastian tentu saja menjadi sulit adanya untuk melakukan penjualan dan menafsirkan kata seluruh sebagaimana yang dimaksud saham tersebut. Termasuk keseluruhan saham milik publik atau tidak,” tambah Zainal.
Kepentingan Umum
Pendapat yang sama juga disampaikan ahli hukum dari UGM, Paripurna P Sugarda. Ia menjelaskan kebingungan atas kewenangan LPS menjual saham bank gagal muncul akibat adanya beberapa Perseroan Terbatas (PT) yang telah menjual saham ke para investor dan membiarkan saham tersebut diperdagangkan di pasar saham (go public). Menurutnya, PT yang demikian akan menjual sahamnya di bursa efek dan masyarakat dapat memperoleh saham tersebut dengan membelinya di bursa efek.
Mengingat fungsi LPS yang turut menunjang terwujudnya perekonomian nasional yang stabil dan tangguh, maka Sugarda menyatakan penjualan saham bank gagal oleh LPS merupakan tindakan yang menyangkut kepentingan umum.
“Dengan demikian, demi kepentingan umum, pemegang saham bank gagal yang telah disehatkan tersebut, yang perolehan sahamnya dilakukan melalui bursa efek harus merelakan sahamnya dijual oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Sudah tentu pemegang saham tersebut akan mendapatkan kembali hasil penjualan saham tersebut sepanjang ekuitas bank yang diselamatkan bernilai positif pada saat diambil alih dan biaya penyelamatan Lembaga Penjamin Simpanan telah kembali,” tukas Sugarda. (Yusti Nurul Agustin)