JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tidak paham dengan permintaan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperdengarkan rekaman hasil penyadapan yang berisi rencana kriminalisasi pemimpin KPK. Biro Hukum KPK menegaskan, penyadapan dan perekaman hanya dilakukan dalam pengusutan perkara tindak pidana korupsi.
"Surat yang kami sampaikan dari pimpinan langsung tadi (dalam sidang) jelas. Kami tidak paham apa yang dimaksud rekaman bukti itu. Jelas, pada ketentuan Pasal 12 ayat (1) huruf a, KPK hanya melakukan penyadapan dan perekaman terkait dengan perkara tindak pidana korupsi. Di luar itu tidak ada perintah penyadapan," ungkap salah satu kuasa hukum KPK, Rasamala Aritonang, usai sidang uji materi di gedung MK, Selasa (30/6) siang.
Disebutkan Rasamala, kalau pun ada hasil rekaman, itu terjadi di luar perintah penyadapan dan merupakan tindakan perseorangan. Bukan mewakili lembaga KPK.
"Kalau pun ada yang melakukan perekaman yang sudah beredar di luar, itu kan tanggung jawab personal. Tidak ada perintah pimpinan untuk melakukan itu," sebutnya.
Permintaan MK agar KPK memperdengarkan rekaman hasil penyadapan kriminalisasi pimpinan KPK itu didasarkan atas permintaan Wakil Ketua KPK nonaktif Bambang Widjojanto (BW). Dia, yang saat ini masih berstatus tersangka di Mabes Polri, mengajukan permohonan uji materi Pasal 32 ayat 1 huruf c dan ayat 2 UU KPK mengenai pemberhentian sementara Wakil Ketua KPK saat berstatus tersangka.
Hanya saja, permintaan ini tidak direspons dengan menghadirkan pimpinan KPK. KPK hanya mengirimkan tim Biro Hukum KPK untuk menyerahkan surat keterangan sebagai pihak terkait secara tertulis.
Dalam keterangan tertulis itu, KPK mengemukakan, tidak keberatan untuk menghadiri sidang sesuai undangan. Dalam surat yang dibacakan oleh Rasamala itu disampaikan juga, pimpinan KPK tidak pernah perintahkan penyadapan atau rekaman terkait dugaan kriminalisasi, intimidasi.
"Karena itu, permintaan rekaman itu langsung diminta pada orang yang bersangkutan. Jadi bukan lembaga KPK, harusnya minta langsung kepada yang merekam tersebut," begitu saat Rasamala membacakan surat pernyataan.
Meski menyayangkan ketidakhadiran pimpinan KPK, MK menganggap surat pernyataan tertulis itu sebagai sebuah jawaban. "Itu adalah jawaban KPK. Jika pun ada, apakah akan memperkuat alasan saudara mengajukan permohonan, supaya MK tidak keliru. Untuk itu kami menawarkan itu bisa diperdengarkan pada musyawarah hakim. Kalau ternyata rekaman itu tidak ada, apa yang bisa kami lakukan untuk menghindari tuduhan yang macam-macam," ungkap hakim MK, I Dewa Gede Palguna.
Salah satu kuasa hukum BW, Abdul Fickar Hadjar, menyampaikan kekecewaannya atas jawaban KPK itu. Hanya saja, yang menjadi catatannya adalah bagian terakhir surat pernyataan yang diserahkan KPK itu. "Ada kalimat di belakang surat yang diajukan KPK, kalau ada itu menjadi tanggung jawab perorangan. Artinya KPK secara kelembagaan tidak mau menyerahkan," ungkapnya.
Mengenai bukti rekaman itu, Fickar menyampaikan jika sebetulnya tidaklah perlu dibuktikan lagi. Karena selain sudah diberitakan oleh media massa, fakta-fakta itu juga pernah dilaporkan ke presiden dan Komnas HAM.
Namun karena jawaban ini, kuasa hukum BW mengaku ingin menyerahkan bukti-bukti tambahan dalam lampiran kesimpulan kepada MK. "Fakta-fakta itu pernah dilaporkan ke presiden dan Komnas HAM, jadi rekaman itu ada. Hanya di pengadilan ini saja KPK yang entah kenapa tidak mau memberikan," jelas Fickar.
Sumber: http://sinarharapan.co/news/read/150630090/di-mk-kpk-lepas-tangan-soal-rekaman-kriminalisasi2