Pemerintah menganggap berbagai perubahan dalam penyelenggaraan Pilkada, khususnya syarat dukungan calon independen menunjukkan demokrasi di Indonesia masih terus berproses. Apalagi, syarat dukungan calon independen yang diatur Pasal 42 yata (1), (2)
UU No. 8 Tahun 2015tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada), bentuk dukungan awal yang merupakan simbol kepercayaan masyarakat terhadap kepala daerah. “Persyaratan dukungan calon independen dalam objek permohonan ini telah sejalan dengan amanat konstitusi yang menggambarkan kedaulatan rakyat,” ujar Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Wicipto Setiadi saat menyampaikan pandangan pemerintah dalam sidang pengujian UU Pilkada di Mahkamah Konstitusi, Senin (29/6).
Pasal 42 ayat (1) UU Pilkada menyebutkan
a.
Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 jiwa harus didukung paling sedikit 10 persen; b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 jiwa sampai dengan 6.000.000 jiwa harus didukung paling sedikit 8,5 persen. Pasal 59 ayat (2a) UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemda menyebutkan a. provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5 persen; b. provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 sampai dengan 6.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5 persen.
Wicipto melanjutkan kebijakan menaikan syarat dukungan calon independen ini ditujukan untuk mendorong keseriusan calon perseorangan yang mendapat dukungan signifikan dari masyarakatnya. “
Treshold (ambang batas, red), salah satu faktor penting untuk menunjukan peran dan dukungan siginifikan masyarakat dalam proses seleksi calon independen atau perseorangan,” kata Wicipto.
Menurutnya, kebijakan ambang batas dalam objek permohonan ini merupakan analogi atas kebijakan Pemilihan Umum yang oleh Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945 didelegasikan ke pembentuk Undang-Undang (UU) untuk dituangkan dalam UU. Dengan demikian, pengaturan kebijakan ambang batas pencalonan kepala daerah dari calon independen tidak bertentangan dengan konstitusi dan tidak mengandung unsur diskriminasi.
“Kebijakan
threshold selain untuk persyaratan calon kepala daerah juga berlaku terhadap peserta seluruh peserta pemilu legislatif dan presiden dan tidak ada faktor pembeda atas dasar ras, agama, jenis kelamin, status sosia,” lanjutnya.
Karena itu, pemerintah berpandangan objek permohonan ini telah mewujudkan manifestasi kedaulatan rakyat sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945. “Norma Pasal 42 ayat (1), (2) UU Pilkada sama sekali tidak bertentangan hak-hak konstitusional dan tidak diskriminatif,” tegasnya.
Sebelumnya, Fadjroel Rachman, Saut Mangatas Sinaga, dan Victor Santoso Tandiasa yang tergabung dalam Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI) mempersoalkan Pasal 42 ayat (1), (2) UU Pilkada terkait syarat dukungan calon kepala daerah dari jalur independen. Intinya, para pemohon yang berniat mencalonkan diri sebagai calon independen di provinsi Kalimantan Selatan ini sangat keberatan karena ada kenaikan syarat dukungan sebesar 3,5 persen dari jumlah penduduk dibandingkan
UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Ketentuan syarat dukungan itu bentuk perlakuan diskriminasi bagi calon independen. Soalnya, berbeda dengan calon kepala daerah dari partai politik atau gabungan partai politik, yang cukup mendapatkan syarat dukungan 20 persen perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Ketentuan ini dinilai akan mengebiri calon independen untuk turut serta dalam penguatan demokrasi melalui Pilkada. Untuk itu, agar terjamin kesetaraan dan persamaan, para pemoon meminta penentuan besaran prosentase calon kepala daerah independen seharusnya didasarkan pada jumlah suara sah, bukan didasarkan pada jumlah penduduk.