Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pembatasan politik dinasti, terus terang, agak mengusik saya beberapa hari terakhir. Pembatasan dinasti politik dalam UU No 1 Tahun 2015, secara subtansi perlu didukung karena membuka peluang bagi pihak lain untuk berkompetisi secara fair. Setidaknya kebijakan ini dapat memenuhi rasa keadilan dari mereka yang selama ini hanya memposisikan diri sebagai 'penonton' dari setiap perhelatan politik.
Praktik dinasti politik sesungguhnya telah merusak tatanan demokrasi kita. Salah satu output dari praktik ini, melahirkan banyak pejabat publik yang bersifat instan. Mereka tidak jauh dari kekuasaan petahana. Istri, anak, saudara, semua bisa dengan mudah dikondisikan dan 'disulap' menjadi pejabat publik (anggota dewan, wali kota/bupati). Proses instan ini berproses di tengah kondisi pendidikan politik masyarakat masih sangat minim. Seorang calon biasanya akan lebih mudah dikenal dengan melihat siapa keluarganya, tanpa lebih jauh menelisik track record.
Saya tidak ragu berpendapat, praktik dinasti politiklah yang menjadi biang kerok aktivis partai dari lintasparpol terjungkal di panggung politik. Padahal sesungguhnya, merekalah yang sudah sejak lama berkeringat dan lebih memahami ideologi partai. Mereka secara baik mendapatkan bekal menjadi pemimpin dan sangat memaknai moralitas dalam berpolitik. Tapi ketika sudah di lapangan, berhadapan hadapan dengan figur instan (yang didukung oleh kekuasaan), satu persatu keok. Realitas pertarungan bebas dalam pemilihan langsung sudah nyata-nyata permisif dan transaksional.
Tak mudah untuk menyampaikan pandangan soal ini. Apalagi ketika saya diperhadapkan pada posisi perbedaan afiliasi politik (beda partai) dan beberapa even politik saya berbeda pilihan dengan TYL (Tenri Olle Yasin Limpo). Dalam banyak hal, perbedaan itu sangat jelas, bila tak ingin menyebut bagai bumi dan langit. Meski saya sempat duduk sebagai wakil rakyat dua periode, kami memiliki gaya / performance yang berbeda. Satu contoh saja, dia politisi senior yang dikenal luas, kapasitas mumpuni, namun selalu dilekatkan dengan identitas klan Yasin Limpo. Saya sendiri selama berkiprah di politik nyaris tidak dikenal dari latar belakang keluarga siapa, karena identitas saya tunggal. Perbedaan itu akhirnya terasa indah karena kemampuan untuk menerima dan menghargai satu sama lain. Secara sederhana, supaya lebih gampang dipahami, setidaknya kami berdua sepaham dalam memaknai hak politik perempuan.
Mengapa saya memiliki perspektif yang agak berbeda ketika menilai seorang TYL, yang selalu disebut- sebut salah satu klan Limpo.. . Tak lain karena kegeraman saya terhadap figur-figur instan atau figur karbitan dalam lingkaran dinasti politik, yang marak terjadi di seluruh Indonesia. Satu kisah, pernah ada bupati di satu kabupaten, ketika selesai dua periode, demi melanggengkan kekuasaan, dia mendorong istri-istrinya (satu resmi, satu nikah siri'), untuk maju di pilkada. Cerita mengenai ini, dengan berbagai versi sangatlah banyak. Hampir pasti melibatkan anak, saudara, istri, untuk melanggengkan kekuasaan.
Namun untuk TYL, saya memberikan pengecualian. Sepanjang saya kenal dan berbagai referensi yang merujuk tentangnya, TYL berbeda dengan figur-figur instan yang marak muncul beberapa tahun terakhir di setiap perhelatan politik.
Siapa pun sesungguhnya punya hak politik dan berhak maju sebagai calon bupati atau jabatan pejabat lainnya. Sesungguhnya dalam tataran ini, kemampuan masyarakat dalam memilah mana politisi beneran, mana instan, sedang diuji. Namun dalam konteks kekinian, saya masih melihat minimnya pendidikan politik masyarakat, dan keterbatasan pengetahuan untuk memilih calon yang berkualitas.
Ketika TYL berniat menjadi bupati, nurani pun tergugah. Apa layak TYL disejajarkan dengan figur-figur instan yang banyak berseliweran belakangan ini? Secara de facto, sesungguhnya dia sudah malang melintang di pertarungan politik mendahului sang adik SYL (Syahrul Yasin Limpo) yang menjadi Bupati dan kini sebagai gubernur. Termasuk lebih senior lagi dari adiknya yang lain, IYL (Ichsan Yasin Limpo) yang kini akan mengakhiri jabatan sebagai Bupati Gowa dua periode.
Kebersamaan dengan TYL sekian tahun di dewan, meyakinkan saya bahwa bila toh ada keinginan untuk maju jadi bupati, tidak lebih dari niat baik dalam mewujudkan mimpi-mimpinya dalam membangun Gowa, dan keinginan lumrah untuk mencapai puncak karir politik. Saya melihat ketulusan dan kecintaan yang dalam terhadap masyarakat yang diwakilinya selama puluhan tahun. Banyak mimpi untuk masyarakat yang ingin diwujudkan, namun diyakini hanya dengan menjadi bupati. Mimpi itu dapat direalisasikan lebih cepat dan lebih mudah. Kemampuannya dalam membangun komunikasi dan kedekatan emosional dengan konstituen, sungguh patut menjadi teladan bagi politisi yang lain. Dia selalu muncul dan bersama masyarakat, bukan hanya pada saat menjelang pemilihan saja, atau ketika butuh dukungan suara. Namun dalam kiprahnya dia sudah bekerja masif dan kontinyu dalam memikirkan kepentingan masyarakat /konstituen yang diwakilinya, termasuk ketekunannya dalam membangun infrastruktur partai. Tak heran, setiap pemilihan legislatif, TYL mampu meraup suara, bahkan melampaui pencapaian suara anggota DPR RI.
Ada kenangan sekitar tiga tahun yang silam, yang tidak pernah pupus dalam memori saya. Senja itu, di kaki bukit poros Camba-Bone, kami mampir rehat usai perjalanan dinas. Seperti biasa, saya selalu dalam posisi nyerocos tak pandang bulu, dan seperti biasa dia selalu menjadi pendengar yang baik. Saya mengomel panjang tentang ketidakadilan dalam politik dan kemalangan teman-teman aktifis perempuan yang tersaruk-saruk dan akhirnya terpental dalam kancah pertarungan politik.
Sekian menit jadi pendengar, seketika TYL pun berkata lirih. “Dik Mary,…saya menjadi bagian dari ceritamu. Saya pun mengalaminya''. Sekilas kulihat matanya berkaca-kaca, hingga memaksa saya mengalihkan pandangan. Sungguh, saya tak kuat, dan saya pun menangis. Seketika saya mafhum, tanpa perlu memintanya bercerita. Saya terlatih untuk mengenali dan memahami berbagai bentuk ketidakadilan, khususnya ketidakadilan dalam politik, karena setiap saat saya merasakannya. Ya,… ketidakadilan, diskriminasi, atau apapun istilahnya, bisa menimpa siapa saja. Tak mengenal batasan status sosial dan perbedaan latar belakang. Senja beranjak malam,… setidaknya menjadi saksi bisu pergumulan batin di antara kami.
Dalam penantian putusan gugatan di MK, sebagai teman, saya turut merasakan kegamangan. Terlepas apakah gugatannya ke MK diterima atau tidak, saya mendoakan yang terbaik untuknya, apapun keputusan itu. Tulisan ini tidak mencerminkan pretensi politik karena hak itu ada di tangan masyarakat. Namun, setidaknya, saya ingin mengatakan, sesungguhnya selama ini TYL telah 'bertahta' di hati sebagian rakyat Gowa. Semoga Ramadan memberikan berkah bagi kita semua. Amin.(*)
Oleh;
Andi Mariattang
Aktivis Kaukus Perempuan Politik Sulsel