Mahkamah Konstitusi (MK) akan menyelenggarakan Sidang Pleno pengujian UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR), yang diajukan oleh Asmara Nababan, dkk melalui Tim Advokasi Keadilan dan Kebenaran yang berisikan advokat dan pembela umum dari LBH Jakarta, Kontras, SNB, Imparsial, Yaphi dan Elsam pada hari Rabu, 2 Agustus 2006 pukul 10.00 Wib bertempat di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi RI Jl. Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta.
Pada sidang terdahulu (12/4), para Pemohon yang terdiri dari para aktivis; organisasi yang dibentuk oleh para korban pelanggaran HAM 1965; korban kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998; dan korban yang merupakan bekas tahanan politik tanpa proses persidangan dalam peristiwa G-30/S, diwakili oleh kuasa hukumnya menjelaskan, UU KKR tidak memenuhi jaminan-jaminan yang diberikan UUD 1945. Hal ini terkait dengan hak-hak korban pelanggaran HAM yang tidak terpenuhi dengan diberlakukannya UU tersebut. Hak tersebut diantaranya adalah hak atas pemulihan yang digantungkan dengan keadaan lain yaitu amnesti (Pasal 27 UU KKR), dan hak korban untuk menempuh upaya hukum (Pasal 44 UU KKR).
Selain kedua pasal tersebut, para Pemohon perkara 006/PUU-IV/2006 ini juga menggugat Pasal 1 ayat (9) UU KKR yang menyebutkan, amnesti adalah pengampunan yang diberikan Presiden kepada pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Menurut mereka, Indonesia sebagai negara yang demokratis dan beradab, maka UUD 1945 sebagai dasar negara juga mengakui prinsip hukum yang telah diakui di seluruh dunia. Yaitu "Amnesti tidak dapat diberikan terhadap pelanggaran HAM yang berat," kata Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M kuasa hukum para Pemohon dari LBH Jakarta.
Menanggapi permohonan uji materiil UU KKR tersebut, Menteri Hukum dan HAM Dr. Hamid Awaludin, S.H. pada sidang yang lalu (23/5) menjelaskan, UU KKR secara substansial berbeda dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Menurut Hamid, UU ini tidak mengatur tentang proses penuntutan hukum atau due process of law, tetapi lebih terfokus mengenai pencarian dan pengungkapan kebenaran, pertimbangan amnesti, pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli waris, sehingga diharapkan akan membuka jalan bagi proses rekonsiliasi dan persatuan nasional. Karena itu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak berfungsi sebagai pengganti terhadap Pengadilan Hak Asasi Manusia, kata Hamid.
Lebih lanjut Hamid menjelaskan, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di berbagai negara telah menciptakan pergeseran konsep keadilan (concept of justice) dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu dari keadilan atas dasar pembalasan atau balas dendam (retributive justice) ke arah keadilan dalam bentuk kebenaran dan rekonsiliasi yang bersifat dan mengarah kepada keadilan restoratif (best justice) yang menentukan aspek penyembuhan restoratif bagi mereka yang menderita karena kejahatan. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa mulai menganjurkan pendayagunaan konsep restorative justice secara lebih luas dalam sistem peradilan pidana melalui United Nation Declaration on The Basic Principles on The Use of Restorative Justice Program in Criminal Matters, jelas Hamid.
Asvi Warman Adam, sejarahwan yang diminta para Pemohon untuk menjadi ahli mengungkapkan pendapatnya pada sidang (21/06) bahwa betapa sangat sulit menggantungkan hak dari korban untuk mendapatkan rehabilitasi dan kompensasi yang digantungkan pada amnesti yang diberikan kepada pelaku. Alasan Asvi antara lain karena pertama, pelaku itu sangat sulit ditemukan karena pelakunya sangat banyak, jadi sangat sulit untuk mengidentifikasi. Kedua, pelaku itu sangat sulit untuk mengaku. Yang mengaku itu paling-paling yang tingkat bawah yang juga ikut, jadi oleh sebab itu saya beranggapan bahwa pasal yang menggantungkan nasib daripada korban kepada adanya amnesti terhadap pelaku, itu sangat tidak adil dan sangat mustahil untuk dilakukan, jelas Asvi.
Alasan ketiga menurut saksi ahli untuk Timor Leste dan ikut menyaksikan proses dari KKR Timor Leste ini, kalau korban baru diberikan kompensasi itu, setelah ada amnesti, mungkin akan terjadi kongkalikong, karena korban juga mengharapkan kompensasi, sehingga dia bisa berkompromi dengan pelaku.
Sidang berikutnya dengan acara mendengarkan keterangan mantan Ketua Pansus RUU KKR, Komnas HAM dan Ahli dari Pemohon. (Mastiur A.P., L.W. Eddyono)