DPR akhirnya mencapai kesepakatan soal pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan peraturan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau yang lebih dikenal dengan dana aspirasi. Meski banyak mendapat penolakan dari masyarakat, revisi UU KPK disepakati masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2015 dan dana aspirasi disetujui untuk dibuat peraturannya.
Berbeda dengan DPR, pemerintah tidak menyetujui dana aspirasi dan revisi UU KPK. Pemerintah yang cenderung berpihak kepada rakyat dan aturan yang berlaku akan mendapatkan tekanan besar di parlemen saat bersama-sama membahas revisi UU KPK dan dana aspirasi.
Dengan dalih untuk memperkuat KPK, DPR sepakat merevisi UU KPK. Persoalannya, ada beberapa klausul dalam revisi itu yang ditengarai melemahkan KPK. Ada beberapa kewenangan khusus KPK yang akan direduksi bahkan dihapus. Misalnya, penyadapan yang hanya bisa digunakan ketika suatu perkara sudah masuk proyustisia. Dampaknya, operasi tangkap tangan yang menjadi ciri khas KPK dalam memberantas korupsi akan hilang.
DPR juga menyetujui dana aspirasi. Dengan berpatokan kepada UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), para wakil rakyat setuju untuk membuat peraturan tentang mekanisme penyaluran dana aspirasi itu. Pasal 80 huruf J UU MD3 menyatakan, hak anggota Dewan untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan (dapil).
Banyak kalangan tidak sepakat dengan dana aspirasi, yang disebutkan sebagai modus baru perampokan uang rakyat. Dana aspirasi membuka peluang terjadi kongkalikong antara anggota DPR dengan kepala daerah dan pengusahapengusaha lokal yang ingin mendapatkan proyek dari uang negara dengan jalan pintas.
Dana aspirasi juga disebut sebagai akal-akalan para politisi di Senayan untuk menanam budi kepada konstituen mereka. Dengan dalih memperjuangkan kepentingan rakyat di dapil masing-masing, mereka berharap mendapat dukungan pada pemilu berikutnya.
Ini tentu upaya untuk melanggengkan kekuasaan dan mempersempit peluang politisi baru yang tanpa modal besar untuk menggantikan mereka. Persetujuan dana aspirasi ditengarai menabrak sejumlah aturan.
Pada Mei 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan tentang uji materi terhadap UU Nomor 27/2009 tentang MD3 dan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Putusan MK itu membatalkan kewenangan DPR untuk membahas anggaran hingga satuan tiga, yakni untuk jenis belanja dan kegiatan. Sementara, dalam dana aspirasi, ada kehendak kuat dari DPR untuk dapat menentukan jenis dan --belanja program dengan mengatasnamakan aspirasi konstituen di dapil masing-masing.
Ketentuan lain yang dilanggar adalah UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Pada sejumlah pasal UU itu secara tegas menyebutkan, belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat.
UU itu juga menegaskan, belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintah pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. UU Keuangan Negara juga mengatur bahwa penyusunan RAPBN berpedoman kepada rencana kerja pemerintah.
Dalam UU Keuangan Negara sama sekali tidak ada aturan yang membuka celah belanja negara untuk keperluan institusi lain di luar pemerintah, termasuk DPR. Dengan demikian, usulan dana aspirasi yang dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan konstituen anggota DPR di dapil masing-masing bertentangan dengan amanat UU Keuangan Negara.
Argumentasi DPR soal dana aspirasi sebagai amanat Pasal 80 huruf j UU MD3 tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan tentang keberadaan dana aspirasi, karena sama sekali tidak menyebutkan adanya dana aspirasi, termasuk di bagian penjelasan. Pasal tersebut hanya mengatakan, anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
Namun, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Dari 10 fraksi di DPR, hanya 3 fraksi yang menolak dana aspirasi, yakni PDI-P, Partai Nasdem, dan Partai Hanura. Dengan suara mayoritas, DPR akhirnya setuju untuk membuat peraturan tentang mekanisme penyaluran dan penggunaan dana aspirasi.
Memang, dua keputusan DPR itu masih bersifat sepihak. DPR masih harus membahasnya dengan pemerintah. Harapan publik kini tinggal kepada sikap tegas pemerintah untuk menolak revisi UU KPK dan pembahasan RAPBN 2016 yang memuat dana aspirasi.
Kita berharap pemerintah tak gentar menghadapi suara mayoritas di parlemen. Pemerintah harus tetap berpegang kepada hati nurani dan keinginan rakyat. Lobi-lobi yang gencar dan tak kenal lelah harus terus dilakukan pemerintah.
Namun, kita tentu berharap agar lobi-lobi itu tidak didasarkan pada tawarmenawar politik yang mengabaikan keinginan rakyat. Kita juga menggugah nurani para politisi di Senayan. Mereka harus bisa mendengarkan aspirasi rakyat dan tidak mengeluarkan keputusan yang sekadar untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan.
Partai-partai yang selama ini mendukung pemerintahan Presiden Jokowi juga harus satu suara. Jangan sampai berbeda sikap dan pandangan yang bisa dimanfaatkan demi kepentingan politik sesaat. ***
Sumber: http://sp.beritasatu.com/tajukrencana/pemerintah-jangan-gentar/90643