Jakarta, HanTer - DPR dinilai keliru meminta Undang-Undang (UU) No.8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), terutama untuk revisi pasal yang mengatur batas waktu wewenang MK dalam menyelesaikan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sebab, ketentuan batas waktu pemeriksaan hasil Pilkada tidak diatur dalam UU MK, tetapi diatur dalam UU No.8/2015 tentang Pilkada.
Pengamat Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), M. Imam Nasef mengatakan, ketentuan mengenai batas waktu 45 hari pemeriksaan perselisihan hasil Pilkada diatur dalam UU No.8/2015 tentang Pilkada pasal 157 ayat 8. "Jadi, keliru kalau ada yang mengusulkan revisi UU MK untuk mengakomodir penambahan waktu pemeriksaan perselisihan hasil Pilkada," kata Nasef kepada Harian Terbit, Minggu (28/6/2015).
Dia mengungkapkan, dalam beberapa tahun terakhir belum ada bukti yang menunjukkan bahwa MK dengan jangka waktu yang saat ini telah ditentukan dalam UU gagal menyelesaikan perkara perselisihan baik hasil Pilpres, Pileg maupun Pilkada secara tepat waktu. Bahkan, lanjutnya, apabila dibandingkan dengan penyelesaian perselisihan hasil Pileg 2014 yang lalu, MK mampu menyelesaikan kurang lebih 903 perkara yang masuk hanya dalam waktu 30 hari.
"Menurut saya alokasi waktu 45 hari itu sudah cukup dan MK pada PHPU Pileg 2014 yang lalu telah membuktikan bahwa MK mampu menyelesaikan kurang lebih 903 perkara dalam waktu 30 hari," ungkapnya.
Dia mengingatkan, kewenangan MK memeriksa dan memutus perselisihan hasil Pilkada serentak ini bersifat temporal/transisional yang tidak bersifat permanen. Sebab, UU Pilkada telah mengamanatkan pembentukan badan peradilan khusus untuk menangani perselisihan hasil Pilkada. Sehingga, dia meminta kepada DPR dan pemerintah prioritaskan membuat UU khusus pembentukan badan peradilan khusus tersebut.
"DPR dan pemerinah harus segera membentuk UU tentang badan peradilan khusus dimaksud. Bukan merevisi UU MK maupun UU Pilkada," tegasnya.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Masnur Marzuki menambahkan, seharusnya yang perlu di revisi dalam UU MK bukan masalah batas waktu penyelesaian sengketa hasil Pilkada. Melainkan, paparnya, apakah MK diperbolehkan mengadili perkara yang berkaitan dengan kepentingan dirinya. Kemudian, apakah MK boleh membuat putusan ultra petita dan apakah MK boleh menjadi positive legislator. "Saya kira itu yang harus disempurnakan dalam UU MK termasuk pula pengawasan hakim MK," kata Masnur Marzuki.
Masnur juga meminta rencana revisi UU MK ini tidak perlu dilakukan saat ini apabila revisi itu agar Pilkada serentak dapat berjalan dengan baik. Sebab, Pilkada tinggal 6 bulan lagi sementara usulannya baru didorong hari ini. Pilihannya, sebutnya, tinggal DPR dan pemerintah duduk satu meja mengkebut revisi UU MK ini atau Presiden menerbitkan Perppu sebagai dasar hukum pencabutan norma UU Pilkada yang menegaskan Pilkada serentak paling lambat 9 desember 2015.
"Artinya Presiden bisa saja terbitkan Perppu sebagai norma baru Pilkada serentak termasuk didalamnya penundaan pilkada," ujarnya.
Dia menjelaskan, mekanisme pengajukan revisi UU harus ada dasar masuk dalam Prolegnas maupun Prolegnas prioritas. Meskipun, bisa satu RUU dibahas walaupun di luar Prolegnas. Disatu sisi, tegasnya, yang harus dipikirkan oleh DPR dan pemerintah adalah lembaga yang berwenang memutus sengketa pilkada dimana MK putuskan tidak berwenang?. "Ini kan sesuatu yang kontraproduktif menyatakan diri tidak berwenang, satu sisi regulasi kewenangannya dibuat mengambang. Namun disisi lain regulasi teknisnya tetap dibenahi. Itu yang saya maksud," tegasnya.
Sumber: http://nasional.harianterbit.com/nasional/2015/06/28/33626/25/25/DPR-Dinilai-Keliru-Minta-Revisi-UU-MK