Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Permohonan tersebut diajukan oleh Payan Siahaan, orang tua Ucok Munandar Siahaan yang dihilangkan secara paksa pada kurun 1997-1998 dan Yati Uryati, Ibu dari Eten Karyana, korban dalam tragedi Mei 1998.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, para Pemohon diwakili kuasa hukumnya Chrisbiantoro menguji ketentuan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM dan penjelasannya. Chris menuturkan, kasus-kasus yang menimpa keluarga Pemohon telah dinyatakan pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). “Berkas perkaranya telah disampaikan kepada Kejaksaan Agung selaku penyidik dalam perkara pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diamanatkan UU Pengadilan HAM,” ujarnya dalam sidang perdana perkara nomor 75/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (25/6).
Namun, perkara tak kunjung ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung kendati berkas perkara telah tujuh kali disampaikan Komnas HAM. Tindakan tersebut dinilai Pemohon telah melanggar hak konstitusionalnya, khususnya Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) serta Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang kepastian hukum untuk setiap Warga Negara Indonesia. “Hak-hak Pemohon menjadi tidak dapat dipenuhi untuk mendapatkan kepastian hukum atas nasib keluarga anak-anak atau keluarga inti mereka yang hilang yang meninggal sejak pelanggaran HAM yang berat tersebut,” imbuhnya.
Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM :
(3) Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyelidikan tersebut kepada penyelidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut.
Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM:
(3) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan \"kurang lengkap\" adalah belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Oleh karena itu, para pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan Konstitusi sepanjang berbunyi, “Dalam hal penyidik berpendapat bahwa hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) masih kurang lengkap, penyidik segera mengembalikan hasil penyidikan tersebut kepada penyidik, disertai dengan petunjuk yang jelas sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 9 Nomor 26 Tahun 2000 untuk dilengkapi dan dalam waktu 30 hari sejak diterimanya tanggal hasil penyelidikan, penyelidik wajib melengkapi kekurangan tersebut”.
Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa “kurang lengkap” dalm penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM tidak bertentangan dengan Konstitusi sepanjang dimaknai “belum cukup memenuhi unsur pelanggaran hak asasi manusia yang berat, sebagaimana unsur-unsur tindak pidana yang disebutkan pada pasal dan penjelasan Pasal 8 dan Pasal 9 untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.”
Perbaiki Sistematika
Menanggapi permohonan, Majelis Hakim menyarankan Pemohon untuk memperbaiki sistematika permohonan agar lebih mudah dipahami. Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menuturkan, dalam menyusun permohonan, hal pertama adalah menjelaskan hak konstitusional. “Hak itu secara faktual telah dilanggar oleh berlakunya ketentuan yang Anda uji, atau dia potensial untuk dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang Anda uji,” ujarnya
Kedua, menerangkan posita atau alasan-alasan permohonan. Dalam posita harus tampak konstruksi pemikiran pemohon mengapa pasal atau ketentuan undang-undang yang diujikan bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon dan terakhir menyatakan petitum.
Adapun Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta Pemohon memperbaiki petitumnya yang dinilai masih belum fokus. “Rumusan dari konstitusional bersyarat itu dinyatakan konstitusional bersyarat dengan dimaknai sebagai berikut, gitu. Coba dirumuskan lagi dilihat saja beberapa contoh daripada petitum-petitum yang sudah ada,” jelasnya. (Lulu Hanifah)