Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) dengan agenda mendengar keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah pada Kamis (25/6), di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang perkara yang terdaftar dengan nomor 59/PUU-XIII/2015 ini, anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana hadir mewakili DPR untuk menyampaikan keterangan. Sedangkan keterangan Pemerintah disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Agus Haryadi.
Menjawab pokok permohonan Pemohon, Sudiartana menjelaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dan sebagai dasar negara sudah jelas dan tegas disebutkan dalam Pasal 2 UU P3. Menurutnya, ketentuan tersebut juga telah menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara. Untuk itu, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. “Dengan demikian, pernyataan Pancasila sebagai dasar negara telah termaktub dalam peraturan perundang-undangan,” imbuh Sudiartana.
Sementara itu, mengawali keterangannya, Agus Haryadi mempermasalahkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Menurut Agus, tidak ada kerugian yang terlanggar bagi Pemohon dengan berlakunya UU a quo. Pemohon juga tidak dalam rangka dihalang-halangi dan tidak terkurangi hak konstitusional dalam menjalankan kegiatannya. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat bahwa Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum.
Kemudian terkait pokok permohonan, Agus menyatakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor XVIII/MPR/1998 merupakan Tap MPR yang tidak memerlukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan. Hal demikian menurut Agus merupakan kebijakan politik ketatanegaraan yang ditetapkan MPR.
“Karena sesuai dengan ketentuan Pasal 6 itu sendiri, yang menyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig atau final, telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan, adalah kebijakan politik ketatanegaraan yang ditetapkan MPR RI setelah adanya penegasan bahwa Pancasila dinyatakan sebagai dasar negara,” kata Agus, di hadapan Majelis Hakim Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Selain itu, Agus menjelaskan bahwa UU P3 telah menegaskan Pancasila sebagai dasar negara, ideologi negara dan filosofis negara. Hal ini kemudian dirumuskan dalam ketentuan Pasal 2 UU P3 dan penjelasannya. Sehingga, lanjut Agus, atas penempatan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara, maka setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Lebih lanjut, terkait keinginan Pemohon untuk menghidupkan kembali pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila atau Eka Prasetya Pancakarsa, maka menurut Agus hal itu harus ditempuh melalui pembahasan dalam sidang MPR, bukan di MK. Hal ini dikarenakan bahwa MPR yang berwenang memutuskan dengan TAP MPR. Sedangkan MK adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang berwenang menerima permohonan mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bukan melakukan pengujian terhadap suatu TAP MPR. Berdasarkan argumentasi itu, Pemerintah meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menolak pengujian Pemohon seluruhnya.
“Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing. Kedua, Menolak permohonan pengujian Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard. Ketiga, menerima keterangan presiden secara keseluruhan. Empat, menyatakan ketentuan penjelasan Pasal 7 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak bertentangan dengan alinea keempat, Pasal 22A dan Pasal 1 aturan tambahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” tandas Agus.
Sebelumnya, perkara yang terdaftar dengan nomor 59/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Yudi Latief, Adhie M. Massardi, dkk, perseorangan warga negara Indonesia yang mempunyai program demokrasi musyawarah Indonesia. Tujuan perjuangan program ini adalah ditetapkannya Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para Pemohon merasa dirugikan karena Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 telah menghilangkan ketentuan formal yang menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 menyatakan:
“Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.”
Menurut para Pemohon, hal ini dapat terjadi karena isi dari TAP MPR Nomor I/MPR/2003, khususnya dalam Pasal 6 angka 91 telah menempatkan TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998 sebagai TAP MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai di laksanakan. Padahal penetapan Pancasila sebagai dasar negara tercantum dalam Pasal 1 TAP MPR Nomor XVIII/MPR/1998. Untuk itu, Pemohon menilai ketentuan formal yang menetapkan pancasila sebagai dasar negara telah hilang karena penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3. (Triya IR)