JAKARTA - Seorang warga negara Indonesia (WNI) pelaku perkawinan campuran, Ike Farida, menggugat sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 / 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan UU Nomor 1 / 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) di Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menilai sejumlah norma dalam dua UU itu telah menghilangkan kesempatan bagi para pelaku perkawinan campuran seperti dirinya untuk memperoleh Hak Milik (HM) dan Hak Guna Bangunan (HGB).
Ike mempermasalahkan dua UU itu lantaran merasa ada perlakuan diskriminatif yang didapati seorang WNI yang kawin campur dengan warga negara asing (WNA). Semisal, ketika ingin membeli HM atau HGB, disebutnya salah satunya selalu dipasangkan dengan keberadaan Pasal 35 ayat 1 UU Perkawinan, yang berbunyi harta benda sepanjang perkawinan adalah harta bersama.
"Jadi ketika seseorang membeli itu dia sudah separuh dianggap milik asing. Jadi anda tidak bisa beli, kalau tidak punya perjanjian pisah harta," kata Ike usai sidang, di gedung MK, Rabu (24/6) siang.
Menurutnya, sejumlah pasal di UU Agraria dan UU Perkawinan telah memunculkan ketidakpastian hukum. Mengenai hal itu, sempat dicontohkannya, kalau di satu sisi, Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 menjamin setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh Hak Milik. Di sisi lain, Pasal 21 ayat (3) UUPA melarang kepemilikan HM dan HGB bagi WNI yang kawin campur.
"Dalam waktu satu tahun dia harus lepas. Artinya kan, ujung-ujungnya kan tidak bisa beli juga," jelasnya.
Selain pasal itu, ketidakpastian hukum juga dirasakan oleh WNI pelaku perkawinan campuran ada pada Pasal 21 ayat (1), 36 ayat (1) UUPA. Kemudian, Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan. "Pada pokoknya siapapun WNI yang kawin dengan asing, apakah itu dia laki-laki Indonesia kawin dengan perempuan asing, atau perempuan Indonesia yang kawin dengan laki-laki asing, selama dia tidak punya perjanjian pisah harta, tidak bisa beli hak milik ataupun HGB. Namun faktanya, ada yang sudah punya perjanjian pisah harta pun tidak bisa beli," sebut Ike.
Pemohon yang menikah secara sah dengan WNA berkewarganegaraan Jepang ini, menggugat atas dasar pengalamannya sendiri. Ike sempat mengalami perlakuan pembatalan sepihak oleh pihak pengembang terkait perjanjian pembelian rumah susun di Jakarta dengan alasan tidak mempunyai perjanjian kawin harta terpisah.
Pembatalan sepihak oleh pengembang itu pun akhirnya dikuatkan oleh penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada tanggal 12 November 2014 dengan amar putusan yang menyebutkan bila pemohon tidak memenuhi syarat perjanjian sesuai Pasal 1320 KUH Perdata karena terjadi pelanggaran Pasal 36 ayat (1) UUPA, meski yang bersangkutan tetap memilih WNI.