Jakarta, 25 Juli 2006. Hari ini Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memutuskan dua perkara Tindak Pidana Korupsi dengan pemohon Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) dan Dawud Djatmijko. Perkara No. 10/PUU-IV/2006 yang menguji UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dengan pemohon MHI dengan putusan tidak dapat diterima. Sedangkan perkara No. 003/PUU-IV/2006 yang menguji UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) dengan pemohon Dawud Djatmijko, putusan Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan menolak selebihnya.
Pada perkara No. 10/PUU-IV/2006 tentang UU KPK, Pemohon tidak dapat menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi sebagai perorangan warga negara Indonesia, in casu sekelompok orang yang mempunyai kepentingan sama, sebagai akibat berlakunya ketentuan-ketentuan dalam UU KPK yang dimohonkan pengujian.
Tidak jelasnya kualifikasi Pemohon dan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang oleh Pemohon dianggap telah dirugikan dalam kualifikasi tadi, telah pula mengakibatkan permohonan ini menjadi kabur (obscuur) karena terjadi percampuradukan antara alasan judicial review dan legislative review yang meskipun dapat saling mendukung namun keduanya memiliki perbedaan-perbedaan. Sehingga, permohonan a quo bukan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK tetapi juga tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) UUMK.
Sementara itu pada perkara perkara No. 003/PUU-IV/2006 tentang UU PTPK, Pemohon mendalilkan kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK beserta penjelasannya masing-masing bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan-ketentuan dimaksud masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1):
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
Penjelasan Pasal 2 ayat (1):
Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat
Pasal 3:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
Terhadap dalil-dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat hal demikian tidaklah menimbulkan ketidakpastian hukum (onrechtszekerheid) yang bertentangan dengan konstitusi sebagaimana yang didalilkan Pemohon. Karena, keberadaan kata dapat sama sekali tidak menentukan faktor ada atau tidaknya ketidakpastian hukum yang menyebabkan seseorang tidak bersalah dijatuhi pidana korupsi atau sebaliknya orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi pidana;
Mahkamah menafsirkan bahwa adanya penjelasan yang menyatakan bahwa kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, kemudian mengkualifikasikannya sebagai delik formil, sehingga adanya kerugian negara atau perekonomian negara tidak merupakan akibat yang harus nyata terjadi. Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian ditafsirkan bahwa unsur kerugian negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung. Persoalan kata dapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, lebih merupakan persoalan pelaksanaan dalam praktik oleh aparat penegak hukum, dan bukan menyangkut konstitusionalitas norma.
Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa frasa dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tidaklah bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sepanjang ditafsirkan sesuai dengan tafsiran Mahkamah di atas (conditionally constitutional);
Tentang konsep melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda-beda dari satu lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya, sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat setempat, sebagaimana yang disampaikan Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H. dalam persidangan.
Mahkamah berpendapat, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang mengenai frasa Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945;
Pertimbangan MK pada Pasal 15 UU PTPK yang juga dimohon untuk diuji yang berbunyi, Setiap orang yang melakukan percobaan, perbantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14 tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum dan keadilan, karena hal ini merupakan suatu pengecualian atau penyimpangan yang dibenarkan oleh sistem hukum pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 KUHP yang berbunyi, Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.
Rumusan Pasal 15 UU PTPK, yang merupakan pencerminan legal policy pembentuk undang-undang, dapat dibenarkan, mengingat praktik tindak pidana korupsi di Indonesia telah berlangsung secara meluas dan sistematis, sehingga dibutuhkan cara-cara yang luar biasa (extraordinary measures) guna menanggulanginya.