detikNews - Jakarta, Sejak Indonesia merdeka 69 tahun lalu, konstitusi mengamanatkan adanya UU tentang Jabatan Hakim. Sayang, hingga hari ini UU yang memuat materi muatan itu belum juga terbentuk.
Dalam UUD 1945, amanat itu termuat jelas dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 yang berbunyi:
Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-undang tentang kedudukannya para hakim.
Selama Orde Baru berkuasa, amanat UUD 1945 itu tidak pernah disentuh. Kedudukan para hakim bukannya mendapat jaminan, tapi malah dimasukkan sebagai bagian dari PNS/eksekutif.
Pascareformasi, UUD 1945 mengalami perubahan signifikan. Penjelasan UUD 1945 dihapus. Adapun Pasal 25 tetap dan berbunyi:
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
Setelah 17 tahun reformasi, amanat UUD 1945 itu juga belum terwujud hingga hari ini.
"Memang belum ada undang-undang tersendiri tentang jabatan hakim (di luar hakim agung dan hakim MK)," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva kepada detikcom, Rabu (24/6/2015).
Menurut Hamdan, UUD 1945 setelah perubahan tidak mengamanatkan UU jabatan hakim secara tersendiri. Dalam UUD hanya diamanatkan UU MA, UU MK, UU KY dan syarat-syarat pemberhentian hakim.
"Memang yang kurang sekarang ini adalah pengaturan khusus mengenai hakim di luar MA dan MK. Hal tersebut hanya diatur secara sepintas dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman," ujar Hamdan.
Secara tegas, peraih gelar doktor dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung tentang Pemakzulan ini menilai sudah saatnya Indonesia memerlukan UU tersebut.
"Memang ada keperluan sekarang ini untuk mengatur hal yang lebih lengkap mengenai jabatan hakim di luar hakim agung dan hakim konstitusi karena sekarang ini hakim terjadi persoalan dalam banyak hal mengenai jabatan hakim ini, terutama masalah pengangkatan yang sekarang masih ribut antara KY dan MA," papar Hamdan.
Keributan MA dan KY adalah kewenangan siapakah yang berwenang menyeleksi hakim. Dalam UU Peradilan Umum, Pengadilan Agama dan Pengadilan TUN disebutkan seleksi hakim harus memerlukan peran KY untuk terlibat. Tapi tiba-tiba saja sebagian hakim agung menggugat ketiga UU itu dan meminta seleksi hakim berasal dari PNS/eksekutif yang dilakukan oleh MA.
"Maksudnya diatur lebih lengkap lagi adalah jabatan hakim selain hakim agung dan hakim konstitusi yaitu hakim biasa yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, PTUN dan hakim lainnya. Kalau hakim agung dan hakim konstitusi sudah diatur dalam UU tersendiri," papar Hamdan.
Tidak hanya itu, Hamdan menilai masalah hakim tidak melulu soal kesejahteraan, tetapi dari hilir hingga hulu.
"Demikian juga masalah pemberhentian, pembinaan karir serta masalah-masalah yang terkait dengan perlindungan jabatan hakim," pungkas Hamdan.
Saat ini muncul RUU Jabatan Hakim dan masuk Prolegnas 2015-2019. Dalam RUU ini, diatur tentang proses rekrutmen hakim, pengangkatan hakim, penempatan hakim hingga hakim pascapensiun.
Hakim menjadi satu-satunya aparat penegak hukum yang belum memiliki UU sendiri. Seperti polisi yang memiliki UU Nomor 2/2002 tentang Polri, jaksa memiliki UU No 16/2004 Kejaksaan, pengacara memiliki UU Nomor 18/2003 tentang Advokat, notaris memiliki UU Nomor 2 Tahun 2014 dan militer memiliki UU No 34/2004 tentang TNI.
Berbeda dengan Hamdan, mantan Ketua MK Jimly Assidhiqie berpendapat sebaliknya. Menurutnya materi UU tentang Jabatan Hakim sudah tidak diperlukan lagi.
"Sekarang semua sudah diatur lengkap dalam perlabagi UU. Tinggal yang belum adalah jaminan martabat dan kehormatan peradilan yang disebut contempt of court," ujar Jimly saat dihubungi terpisah. (asp)