Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono menilai, dipaksakannya persetujuan dana aspirasi DPR dalam sidang paripurna DPR adalah puncak dari praktek tindakan inskonstitusional yang dilakukan DPR selama ini dalam menjalankan wewenangnya.
Menurutnya, meskipun DPR menegaskan bahwa usulan dana aspirasi adalah perintah UU No 17 Tahun 2014 tentang MD3, namun bukan berarti tindakan tersebut otomatis dapat dibenarkan.
"Meskipun UU No 17 Tahun 2014 sah berlaku, namun sesungguhnya UU tersebut memiliki cacat formil sejak pembentukannya," ujar Bayu saat dihubungi SP, Kamis (25/6).
Bayu menilai asas keterbukaan sebagaimana diwajibkan UU No 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan telah diabaikan dalam pembentukan UU ini, terutama terkait Pasal 80 huruf j yang memberikan hak khusus kepada DPR untuk mengusulkan dan memperjuangkan dana aspirasi di daerah pemilihan.
DPR RI, katanya, membahas ketentuan pasal dana aspirasi dapil ini secara diam-diam, tanpa meminta pendapat baik itu rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi maupun pemerintah, dalam hal ini kementerian keuangan sebagai bendahara negara.
"Dalam UU Keuangan Negara disebutkan di Pasal 12 ayat (2) bahwa penyusunan RAPBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun disusun dengan berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan bukan kepada dokumen lainnya seperti dokumen dana aspirasi dapil DPR," terang Bayu.
Selain itu, menurut Bayu, penyusunan RKP sesuai UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional memiliki tahapan-tahapan yang sangat ketat, dalam rangka dapat mengidentifikasi prioritas pembangunan.
Tahapan dalam penyusunan RKP, katanya, meliputi penyiapan rancangan awal rencana pembangunan, penyiapan rancangan kerja, musyawarah perencanaan pembangunan, dan penyusunan rancangan akhir Rencana Tahapan.
"Tahapan ketat dalam penyusunan RKP tersebut tidak dilakukan dalam penyusunan program dana aspirasi DPR. Dengan demikian penyusunan prioritas pembangunan menjadi sangat subjektif kehendak anggota DPR," tandasnya.
Menurutnya, tidak ketatnya tahapan penyusunan program dana aspirasi DPR juga membuka celah praktek korupsi dalam penyusunan usulan program dana aspirasi.
Pasalnya, kekuasaan besar terletak di tangan anggota DPR tanpa mekanisme penyusunan prioritas yang melibatkan pengawasan banyak pihak.
Bayu juga mengingatkan posisi DPR dalam penyusunan APBN adalah bersifat hanya sekadar memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Rancangan APBN yang diusulkan oleh Presiden.
Menurutnya, ketentuan ini tertera dalam Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang diperkuat dengan putusan MK terkait UU MD3.
"Dengan konstruksi hukum yang demikian, UUD 1945 menghendaki DPR sebagai pengawas atas usulan RAPBN yang diajukan oleh Presiden. Sebagai pengawas tentunya DPR harus bersikap netral dan tidak terlibat conflik of interest dengan rencana belanja negara dalam RAPBN," tegasnya.
"Dapat dipastikan pengawasan dan keobjektifan DPR akan hilang jika didalamnya DPR ikut bertindak seperti Presiden dengan mengusulkan sejumlah program dan belanja negara dalam RAPBN yang nantinya akan DPR periksa sendiri," tambahnya. [YUS/L-8]
Sumber: http://sp.beritasatu.com/home/pakar-dana-aspirasi-inkonstitusional/90568