Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Dalam sidang tersebut, Pemohon memperkuat legal standing dan pokok-pokok permohonannya.
Pemohon yang terdiri dari lima orang pekerja diwakili oleh Kuasa Hukum Iskandar Zulkarnaen. Iskandar kemudian memperjelas status Yayat Sugara sebagai Pemohon V yang telah mengalami tahapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pada tingkat mediasi dan kini sedang menjalani perselisihan pada tingkatan Pengadilan Hubungan Industrial. “Sedangkan Pemohon I hingga Pemohon IV belum mengalami sengketa hubungan industrial, tetapi tidak tertutup kemungkinan akan mengalami hal yang sama,” ujarnya dalam sidang perkara yang teregistrasi dengan nomor 68/PUU-XIII/2015 di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (24/6).
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Pemohon juga mempertegas pentingnya risalah penyelesaian perselisihan melalui mediasi dalam acara pembuktian di Pengadilan Hubungan Industrial. Risalah tersebut merupakan syarat formal yang dapat mengakibatkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial dinyatakan tidak dapat diterima. “Ketentuan itu diatur secara hukum acara dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004,” imbuhnya.
Berdasarkan UU PPHI, jelas Pemohon, terdapat tiga tahapan pemeriksaan pada tingkat mediasi atau konsiliasi. Tahapan tersebut adalah sidang kelengkapan berkas, sidang mediasi atau konsiliasi, dan menerbitkan anjuran tertulis dalam jangka waktu 10 hari kerja setelah sidang mediasi atau konsiliasi pertama. Penyelesaian pada tingkat mediasi atau konsiliasi harus paling lama 30 hari kerja.
Ketentuan itu dinilai Pemohon sangat sulit diterapkan oleh mediator atau konsiliator. Pasalnya, sangat tidak dimungkinkan untuk menyelenggarakan mediasi hanya satu kali. “Seperti umumnya di pengadilan umum, kendala muncul, seperti tidak hadirnya salah satu pihak, sehingga harus dipanggil kembali,” tuturnya.
Selain itu, Pemohon menganggap UU PPHI tidak mengamanatkan penerbitan risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi serta tidak pula mengatur waktu penerbitan risalah. Padahal, menurut Pemohon, merupakan hal yang tepat bila anjuran pegawai mediator atau konsiliator disampaikan. “Apabila ditolak oleh salah satu pihak atau tanpa kehadiran salah satu pihak, pegawai mediator atau konsiliator menyebutkan anjurannya di dalam risalah penyelesaian mediasi atau konsiliasi,” papar Iskandar.
Sebelumnya, Pemohon menjelaskan bahwa dalam UU PPHI, Pengadilan Hubungan Industrial hanya dapat diselenggarakan apabila dilampirkan risalah penyelesaian mediasi dan konsiliasi sebagaimana ketentuan Pasal 83 ayat (1) UU a quo. Namun menurutnya, Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU a quo hanya memberikan kewenangan kepada mediator atau konsiliator untuk membuat anjuran.
“Konsep alternatif penyelesaian sengketa melalui mediasi dan konsiliasi yang diatur dalam Undang-Undang PPHI, faktanya tidak menimbulkan mediasi yang memfasilitasi para pihak yang bersengketa untuk dapat berunding, karena pegawai mediator menjadi figur sentral yang diberikan kewenangan untuk membuat anjuran yang seolah-olah kuasi putusan vonis hakim dan terkesan hanya menjadi tiket untuk mengajukan gugatan ke PHI, padahal pada ranah hukum mediasi tidak mengenal anjuran,” jelas Iskandar.
Hal ini menyebabkan Pemohon meminta agar sepanjang frasa “anjuran” dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan Pasal 23 ayat (2) huruf a UU PPHI dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi/konsiliasi, maka mediator/konsiliator mengeluarkan anjuran tertulis sebagai bentuk risalah penyelesaian melalui mediasi/konsiliasi.” (Lulu Hanifah/Anjarsari)