Sidang uji materi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) - Perkara Nomor 47/PUU-XIII/2015 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (24/6) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Ahli Pemohon.
Mewakili DPR, anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana mengatakan pemisahan aset BPJS dan Dana Jaminan Sosial (DJS) bertujuan agar dana pemanfaatan untuk peserta dengan dana operasional tidak tercampur baur dan terjaminnya hak peserta program jaminan sosial. “Keuntungan dari pemisahan sumber aset BPJS dengan sumber aset DJS adalah terjaminnya hak peserta program jaminan sosial, baik yang selama ini telah terkumpul pada PT. Askes dan PT. Jamsostek maupun di masa yang akan datang berasal dari iuran peserta program jaminan sosial,” papar Sudiartana di hadapan Majelis Hakim Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat.
DPR berpendapat, dengan adanya pemisahan sumber aset BPJS dan DJS, semakin jelas dana yang dialokasikan untuk pemanfaatan peserta. Dana langsung dipisahkan untuk meningkatkan kapasitas BPJS. Pemisahan benar-benar untuk dana peserta, tidak tercampur. Hasil pengembangannya kembali untuk peserta. Apabila dicampur, akan tidak jelas mana dana untuk peserta dan operasional BPJS.
Kemudian mengenai batas usia minimal 30 tahun dan maksimal 60 tahun menjadi anggota Dewan BPJS dan Direksi BPJS, menurut DPR, tidak beralasan dan bukan merupakan bentuk diskriminasi. Tetapi merupakan persyaratan yang sudah lazim ditentukan dalam undang-undang untuk menentukan bahwa seseorang dengan batas usia tertentu dianggap telah memiliki kapasitas baik dari sisi intelektualitas, kecerdasan spiritual, kecerdasan emosi maupun kematangan perilaku dalam menjalankan jabatan tertentu.
Usai penyampaian keterangan DPR, sidang berlanjut dengan penyampaian keterangan dua Ahli Pemohon. Pertama, hadir Hasbullah Thabrany selaku Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan Ketua Dewan Penguji Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia (PAMJAKI). Hasbullah menyampaikan, pemisahan aset BPJS dan DJS adalah pengaturan yang tidak lazim di dunia, tidak lazim dalam entitas badan hukum publik dan telah menimbulkan korban nyawa. Sedangkan mengenai pembatasan usia Direksi dan Dewan BPJS, baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan, Hasbullah menilai hal itu melanggar hak-hak rakyat yang berada di luar usia tersebut untuk berpartisipasi, mengabdi pada negara melalui program jaminan sosial.
Selanjutnya Ahli Pemohon lainnya, Pakar Jaminan Kesehatan Sulastomo mengatakan bahwa dana jaminan sosial akan dapat memberikan dukungan pada program investasi dalam negeri di segala bidang, agar mampu mandiri sehingga semakin berdampak percepatan terwujudnya masyarakat adil dan makmur. Berikutnya mengenai pembatasan usia minimal dan maksimal menjadi anggota Dewan BPJS, Sulastomo berpendapat bahwa hal itu akan mengurangi peluang memperoleh personalia yang diharapkan mampu mengelola program dengan baik.
Sebelumnya, dalam permohonannya para Pemohon Yaslis Ilyas, Kasir Iskandar, Odang Muchtar dan Dinna Wisnu menyatakan Pasal 21 ayat (2) UU BPJS beserta penjelasannya telah membuka ruang terpilihnya Dewan Pengawas BPJS yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Masuknya dua unsur pemerintah sebagai dewan pengawas menimbulkan ketidakindependenan pengawasan yang dilakukannya. BPJS merupakan badan hukum publik seperti halnya lembaga pemerintah. Oleh karena itu, Pemohon menilai tidak tepat apabila unsur pemerintah secara khusus mendapat porsi pengawasan. Unsur pemerintah tersebut juga membatasi setiap warga negara yang tidak duduk dalam pemerintahan, tetapi profesional, berpengetahuan, kompeten, dan berkepedulian tinggi terhadap jaminan sosial untuk ikut mengawasi operasional BPJS sebagai badan hukum publik.
Begitu pula dengan dua orang unsur pekerja dan dua orang unsur pemberi kerja. Aturan tersebut juga membatasi setiap warga negara yang berkeinginan menjadi dewan pengawas yang tidak mempunyai afiliasi dalam suatu organisasi pekerja maupun pengusaha. Adapun unsur tokoh masyarakat dinilai merupakan unsur yang sangat rawan menjadi akal-akalan dalam memilih seorang menjadi dewan pengawas, karena terdapat kemungkinan yang dipilih merupakan rekan atau sejawat yang juga merupakan seorang tokoh masyarakat, tetapi tidak memiliki pengetahuan, kompetensi, dan kepedulian dalam bidang jaminan sosial.
Selain itu, Pemohon juga mempersoalkan ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf f UU BPJS yang mengatur batasan umur untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas atau Anggota Direksi. Kemudian, ketentuan pemisahan aset BPJS dengan aset DJS sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (2), Pasal 42 dan pasal 43 ayat (2) UU BPJS juga dipersoalkan. Pemohon beranggapan, Pemisahan aset BPJS dan aset DJS menimbulkan potensi penyalahgunaan, karena Direksi BPJS menganggap bahwa yang menjadi obyek pengawasan Pengawas adalah hanya aset DJS yang dinilai sebagai hak peserta, sedangkan BPJS dinilai seolah menjadi hak Direksi. (Nano Tresna Arfana)