Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menyatakan aturan pemberhentian sementara pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah tidak lagi sesuai dengan proses penegakkan hukum yang berjalan saat ini. Hal tersebut disampaikan Zainal selaku ahli yang dihadirkan Pemohon, pada sidang pemeriksaan perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang dimohonkan pimpinan KPK non aktif Bambang Widjojanto, Selasa (23/6) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).
Mula-mula Zainal menyampaikan bahwa secara historik ketentuan pemberhentian sementara pimpinan KPK yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU KPK dimunculkan karena adanya keinginan pembentuk undang-undang untuk mendapatkan komisioner KPK yang bersih. Dengan kata lain, pasal a quo dimaksudkan untuk menjaga KPK dalam melaksanakan tugas dan fungsi KPK itu sendiri.
Namun, keinginan pembentuk UU KPK itu mendapat halangan bila mempertimbangkan kondisi saat ini. Menurut Zainal, bayangan pembentuk undang-undang ketika membentuk aturan tersebut, adalah dalam konsep penegakkan hukum yang normal dan biasa-biasa saja. Zainal menganggap, saat itu pembentuk UU KPK membayangkan bahwa semua proses penegakkan hukum hadir melalui proses hukum yang benar, dan bukan proses hukum yang mengada-ada.
Padahal kondisinya saat ini, lanjut Zainal, seseorang sering kali dengan mudah ditetapkan menjadi tersangka tanpa bukti yang sempurna. Bahkan, terkadang ditemukan bukti yang direkayasa. Namun, penetapan tersangka tetap dilakukan demi mendasarkan pada mekanisme penegakkan hukum pidana dalam kondisi normal. Hal yang sama terjadi pula pada diri Pemohon.
“Di tengah beragamnya ketentuan pelanggaran pidana mulai dari yang serius hingga hal yang sepele. Praktik penegakkan hukum yang seringkali keliru maupun mudahnya mendalilkan bahwa ada prinsip korektif SP3. Membuat sangat mungkin terjadi penetapan tersangka atas pimpinan KPK yang berujung pada dihentikannya secara sementara seorang pimpinan KPK,” ujar Zainal, di hadapan pleno hakim yang dipimpin langsung oleh Ketua MK Arief Hidayat.
Sementara itu, bila dilihat dari struktur norma Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU KPK, menurut Zainal UU KPK justru tidak mengatur secara detail berbagai hal yang berkaitan dengan pemberhentian sementara ini. Misalnya saja ketika Pemohon diberhentikan sementara maka KPK akan mengalami kekurangan pimpinan. Seketika, dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) seperti yang sudah terjadi pada KPK belakangan ini. Bila proses penyidikan terhadap Pemohon dihentikan misalnya, Zainal melihat UU KPK juga tidak mengatur dengan detail kelanjutannya.
“Misalnya, pemberhentian sementara atas pimpinan KPK yang kemudian terjadi lagi proses penghentian sementara terhadap pimpinan sementara tersebut, maka akan ada perdebatan tentunya perihal pimpinan sementara mana yang dapat kembali ke posisi jabatan semula ketika terjadi penghentian atas proses penyidikannya,” jelas Zainal yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM itu.
Perlu Pembatasan
Hal senada disampaikan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana Bonaprapta. Ia menyatakan, semangat reformasi yang dilatarbelakangi pengalaman terpuruknya Negara Kesatuan Republik Indonesia akibat perbuatan korupsi telah melahirkan perangkat peraturan perundang-undangan dan lembaga, salah satunya KPK. Dengan lahirnya KPK keinginan menjadikan KPK sebagai badan yang kuat bahkan extra ordinary body pun mewujud. Oleh karena itu, demi menjaga keluarbiasaan itu, maka dibutuhkan personel yang juga kuat secara etika dan moral. Namun belakangan, keinginan untuk menjaga “kesucian” KPK lewat ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c dan ayat (2) UU KPK justru memunculkan ekses lain yang tidak sejalan dengan pemberantasan korupsi.
Seperti yang terjadi pada Pemohon, asas praduga tidak bersalah harusnya tetap diberlakukan. Meski sudah berstatus tersangka, seharusnya Pemohon tetap harus dianggap tidak bersalah sampai dengan adanya putusan hakim pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Pemohon dalam kondisi demikian harus diperlakukan secara adil.
Namun, keadilan bagi Pemohon dirasa belum terpenuhi. Sebab, proses hukum sesuai Pasal 32 ayat (2) UU KPK dengan menetapkan tersangka tanpa membatasi jenis kualifikasi kejahatannya amatlah rentan disalahgunakan. Mengingat, akan selalu ada pihak-pihak yang mencoba memanfaatkan celah dan kelemahan proses acara penetapan tersangka.
“Mengacu pada ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak membatasi jenis dan kualifikasi tindak pidana, tidak membatasi tempus delicti atau waktu terjadinya tindak pidana, maka kita membayangkan beberapa hal ini akan terjadi. Pertama, ada tidak kurang dari 6.000 kejahatan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berpotensi diperalat mentersangkakan seseorang dalam hal ini pimpinan KPK dengan sebagian besar norma yang tidak mengakar di masyarakat yaitu terutama norma kejahatan yang diatur di luar KUHP,” tegas Laksmana. (Yusti Nurul Agustin)