Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (UU Pelayaran) yang diajukan oleh Ucok Samuel Bonaparte Hutapea, dengan agenda perbaikan permohonan pada Senin (22/6). Ucok Samuel adalah warga negara yang berencana untuk mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang pelayaran.
Melalui permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 64/PUU-XIII/2015, Pemohon menegaskan telah melakukan perbaikan permohonan. Jika sebelumnya Pemohon hanya menguji ketentuan Pasal Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pelayaran, dalam sidang kali ini Pemohon menambahkan beberapa pasal untuk diujikan secara materiil yaitu Pasal 1 angka 21 dan angka 28, Pasal 223, serta Pasal 341 UU a quo.
Selain itu, perbaikan permohonan juga dilakukan terhadap kedudukan hukum. Pemohon melampirkan bukti terkait rencana pembukaan akun untuk pembelian saham yang dimiliki oleh perusahaan pelayaran. “Perbaikan dari sisi legal standing, Pemohon melampirkan bukti terkait rencana pembukaan akun untuk pembelian saham, saham yang dimiliki oleh perusahaan pelayaran. Juga untuk membeli perusahaan yang bergerak di bidang kepelabuhanan dan perusahaan pertambangan yang mempunyai terminal khusus dan terminal sendiri untuk memenuhi legal standing secara langsung sebagai pihak yang terkena dampak,” papar Ucok Samuel di hadapan Majelis Hakim Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, di Ruang Sidang MK.
Pemohon juga menegaskan terdapat ketidakpastian hukum atas penerapan Pasal 158 ayat (2) huruf c UU Pelayaran. Menurut Pemohon, sebelum UU Pelayaran diundangkan, banyak perusahaan pelayaran yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh pihak asing. Hal ini terjadi akibat tidak adanya ketentuan peralihan yang mensyaratkan kewajiban bagi pemegang saham asing untuk melakukan divestasi (pengurangan modal) atas saham yang dimilikinya. Ini yang kemudian memunculkan interpretasi tidak wajib untuk melakukan divestasi bagi pemegang saham asing. Hal tersebut menyebabkan perusahaan pelayaran nasional yang baru berdiri setelah pemberlakuan UU Pelayaran menjadi sulit untuk bersaing dengan perusahaan asing, sehingga pada akhirnya menyebabkan iklim yang tidak kondusif.
Pemohon berpendapat kerugian tersebut juga menghambat kemajuan pelaku usaha nasional dalam bidang pelayaran. Hal ini terjadi karena pelaku usaha berkewarganegaraan Indonesia menjadi sulit dan enggan untuk masuk ke dalam usaha pelayaran sebab khawatir akan kalah bersaing dengan perusahaan pelayaran yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh asing.
Dalam argumentasinya, Pemohon menyatakan asas cabotage merupakan inti dari UU Pelayaran. Asas ini merupakan prinsip yang memberikan hak khusus (privilege) untuk kapal-kapal penunjang operasional niaga berbendera negara yang bersangkutan untuk melakukan angkutan ke wilayahnya (pelabuhan). Tidak hanya itu, kapal-kapalnya juga harus dimiliki dan dioperasikan oleh warga negara atau badan usaha yang dibentuk berdasarkan hukum Negara setempat. Bahkan, kepemilikan saham mayoritas (minimal 51 persen) juga harus berada ditangan perusahaan dari negara tersebut.
Menurut Ucok Samuel, tujuan dalam asas cabotage adalah untuk melindungi kepentingan nasional, kepentingan industri maritim nasional demi melindungi warganya. Oleh karena itu, adalah sangat sempit jika asas cabotage hanya diakaitkan dengan bendera kapal, di mana yang boleh digunakan dalam angkutan dalam negeri hanya yang berbendera Indonesia. Sementara bisnis maritim sangat luas dan asas cabotage melingkupi segala aspek yang terkait dengan maritim.
“Akan sia-sia dan tidak berarti asas cabotage jika kapalnya wajib berbendera Indonesia, tetapi kemudian pelabuhan tidak wajib mayoritas Indonesia atau dalam pasal yang lain yang diujikan perusahaan yang hendak mendaftarkan kapal, Pemohon minta agar melakukan penyesuaian saham menjadi mayoritas Indonesia. Tidaklah ada artinya bagi bangsa Indonesia jika kapalnya berbendera Indonesia tetapi perusahaannya mayoritas dimiliki asing. Sia-sia sekali semuanya,” ujar Ucok Samuel. (Ilham)