JAKARTA-Mundurnya sejumlah kepala daerah menjelang pendaftaran calon kepala daerah kemarin menjadi salah satu bahasan pelik rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan Mendagri. Anggota dewan meminta Kemeterian Dalam Negeri (Kemendagri) mencegah para kepala daerah itu melepas jabatan karena mengkhianati kepercayaan rakyat.
Dalam RDP itu, sejumlah anggota dewan secara langsung meminta Mendagri memberikan solusi agar politik dinasti tidak terjadi. Beberapa anggota yang lain mengkritik KPU karena mengeluarkan surat edaran mengenai petahana.
Anggota Komisi II E.E. Mangindaan menyatakan tidak setuju dengan upaya para kepala daerah dalam meluluskan dinastinya di pencalonan kepala daerah. "Perlu ketegasan dari Pak Menteri, nanti kita bicarakan sekaligus (dengan KPU)," ujar politikus Partai Demokrat itu.
Politikus PDIP Arteria Dahlan menuturkan, fenomena mundurnya petahana tidak terlepas dari kesalahan pembuat UU.
"Harus diakui, mereka mundur karena kita bikin rumusan normanya salah. PKPU-nya juga keliru," tuturnya. Akibatnya, wajar apabila celah hukum tersebut dimanfaatkan para petahana yang keluarganya berhasrat menjadi calon kepala daerah.
Meski begitu, lanjut dia, mundurnya kepala daerah demi memuluskan keluarganya tetap tidak bisa dibenarkan. Bagaimanapun, sebagai kepala daerah, para petahana itu terikat sumpah jabatan. "Jadi, ini juga pelanggaran etik dan moral," ucapnya.
Setelah RDP, Ketua Komisi II Rambe Kamarul Zaman menuturkan bahwa secara umum Komisi II DPR menolak adanya politik dinasti. Pembatasan politik dinasti sudah diatur dalam UU Pilkada dan itu harus dipatuhi. Karena itu, dia meminta Mendagri tidak meluluskan permintaan para petahana tersebut.
Dia mengingatkan, para kepala daerah terikat dengan sumpah jabatan setelah mendapat dukungan rakyat lewat pilkada. "Jangan seenaknya mengundurkan diri. Tanya dahulu sama yang mendukung," ujarnya. Minimal harus ada persetujuan dari DPRD.
Mengenai surat edaran KPU yang memuat definisi petahana, dia menilai, KPU tidak perlu mengeluarkan itu. Menurut dia, aturan sudah jelas bahwa perhitungan jabatan satu periode itu lebih dari 2,5 tahun. "Kalau belum satu periode, walaupun dia petahana, boleh saja yang berkaitan dengan dia (keluarganya) itu maju," lanjutnya.
Karena itu, hari Kimisi II DPR mengklarifikasi surat edaran yang menjadi polemik tersebut ke KPU di forum rapat gabungan. KPU harus menjelaskan surat edaran itu agar persoalannya menjadi klir. "Komisi II hanya usul ke Kemendagri agar pengunduran diri itu tidak sah," tambahnya.
Mendagri Tjahjo Kumolo tidak secara tegas menyatakan bakal menolak atau menerima pengunduran diri para petahana. "Seharusnya kan mereka tahu, dalam undang-undang yang sekarang ini, selama belum ada keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) mengenai pasal tersebut (konflik kepentingan dengan petahana) ya tidak boleh," ujarnya usai RDP.
Itu berarti sebelum ada putusan MK, seharusnya para petahana tidak boleh mengundurkan diri untuk meloloskan keluarga. "Tapi, mereka kan juga pintar ya, tidak akan mungkin mencantumkan alasan tersebut," lanjut politikus PDIP itu. Bagi Mendagri, yang terpenting harus ada persetujuan dari DPRD karena berkaitan dengan sumpah jabatan.
Hingga kini, pihaknya belum menerima surat apa pun dari DPRD di kabupaten dan kota yang kepala daerahnya melepas jabatan. Kemendagri nanti menanyakan alasan para petahana tersebut, kemudian mengkaji dengan UU yang ada. Kemendagri juga akan berkomunikasi dengan KPU.
Secara terpisah, Ketua KPU Husni Kamil Manik menegaskan bahwa tidak ada yang salah pada definisi petahana yang dijabarkan KPU di surat edaran. "Itu hasil diskusi di rapat konsultasi," ujarnya di gedung KPU kemarin. Definisi petahana itu dijelaskan oleh Staf Ahli Kemendagri Prof Zudan Arif Fakrulloh saat sesi konsultasi rancangan peraturan KPU mengenai pencalonan kepala daerah pada April lalu di Komisi II DPR.
Kala itu, Prof Zudan menyampaikan bahwa definisi petahana adalah yang sedang menjabat kepala daerah. Definisi tersebut kemudian disepakati oleh forum rapat konsultasi, kemudian digunakan oleh KPU dalam peraturan teknis.
Dalam perkembangannya, muncul pertanyaan dari daerah bagaimana seorang kepala daerah tidak lagi berstatus petahana. Akhirnya, muncul surat edaran tersebut. Kepala daerah yang tidak termasuk petahana adalah yang sudah tidak lagi menjabat karena masa jabatannya berakhir, mengundurkan diri, atau berhalangan tetap.
Aturan tersebut, tutur Husni, mengacu kepada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Sebab-sebab kepala daerah berhenti dari jabatannya diatur dalam pasal 78 ayat (1) dan (2).
Disinggung mengenai batasan satu periode jabatan minimal sudah dijalani 2,5 tahun, menurut Husni bukan dalam konteks pencalonan keluarga petahana. "Itu untuk menghitung apakah seorang kepala daerah sudah menjabat dua periode atau belum," tutur pria kelahiran Medan, Sumut, itu.
Perhitungan tersebut dijadikan patokan apakah seorang petahana boleh mencalonkan diri lagi. Dia mencontohkan, Rano Karno saat ini menggantikan Ratu Atut sebagai gubernur Banten. Dia tidak dihitung satu masa jabatan karena menjalani itu kurang dari 2,5 tahun. Itu berarti dia bisa mencalonkan diri dan terpilih lagi hingga dua kali. (byu/c4/fat/jpnn)
Sumber: http://kaltengpos.web.id/berita/detail/20811/dpr-hadang-pengunduran-diri-petahana.html