Perjuangan untuk mengubah dan menaikkan batas usia minimal perkawinan perempuan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi menemui jalan buntu. Perkawinan anak perempuan, yakni yang sudah berusia 16 tahun, masih dilegalkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, berbagai jalan masih dapat ditempuh untuk mempertahankan agar anak-anak perempuan tidak cepat menuju pernikahan.
Dalam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis 18 Juni 2015, permohonan yang diajukan Yayasan Pemantau Hak Anak, Koalisi Perempuan Indonesia, dan sejumlah pribadi yang peduli pada hak perempuan ditolak. Mereka meminta MK menguji Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), khususnya terkait dengan batas usia perkawinan 16 tahun. MK diminta membatalkan batas usia itu dan menetapkan batas baru menjadi 18 tahun.
Semula, diharapkan, perubahan pada undang-undang yang sudah berusia 41 tahun itu dapat melindungi anak perempuan dari pernikahan dini. Pernikahan dini masih dipraktikkan sebagian masyarakat. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia 2013 yang mencakup sampel 300.000 rumah tangga, tercatat 2,6 persen perempuan menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun. Kenyataan memprihatinkan lain yang tercatat lewat statistik ialah kematian ibu melahirkan di kelompok usia terlalu muda (20 tahun ke bawah) sebesar 6,9 persen.
Pernikahan dini berdampak luas karena rawan mengakibatkan anak perempuan kehilangan hak pendidikan. Dalam paparan berjudul "Prevalensi Pernikahan Anak dan Faktor-faktor Penentunya di Antara Wanita Muda Indonesia" (Joseph Natanael Marshan, M Fajar Rakhmadi, Mayang Rizky, 2013), perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun biasanya pendidikannya hanya sampai di tingkat SD. Pernikahan anak terjadi pada mereka yang kesulitan untuk mengenyam pendidikan tinggi. Dalam analisis itu, mereka menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2010. Selain itu, kebanyakan dari perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun tinggal dalam kondisi ekonomi rumah tangga yang miskin.
Di samping itu, pernikahan dini rawan merenggut hak kesehatan reproduksi perempuan. Pernikahan dini yang diikuti kehamilan dalam usia terlalu muda meningkatkan risiko kematian ibu saat melahirkan.
Langkah hukum selanjutnya
Seiring dengan keputusan MK tersebut, langkah hukum yang dapat ditempuh selanjutnya ialah legislative review, yakni proses legislasi revisi undang-undang melalui pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Proses legislasi membutuhkan waktu panjang, tenaga, kekuatan lobi, dan stamina tinggi dari pemohon perubahan undang-undang. Terlebih lagi, jadwal Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2019 sudah begitu padat.
Untuk melindungi anak perempuan dari pernikahan dini, tampaknya sulit mengandalkan kekuatan hukum formal. Namun, masih terbuka jalan-jalan lain, seperti kebijakan yang afirmatif terhadap perempuan, kerja sosial, budaya, dan pendidikan.
Jalan itulah yang menurut Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Wahyu Hartomo tak kalah penting. Dalam sebuah wawancara dengan Kompas, dia mengatakan, tidak perlu terlalu berharap pada perubahan UU Perkawinan karena akan memakan waktu lama. Oleh sebab itu, dibutuhkan pendekatan-pendekatan alternatif untuk menghilangkan praktik perkawinan dini di masyarakat.
Beberapa cara yang dilakukan KPPPA menggunakan pendekatan bawah ke atas, yakni melalui program Kota Layak Anak (KLA). Beberapa indikator KLA, misalnya, ialah akses pendidikan 12 tahun, lingkungan sehat dan aman, serta tidak ada praktik perkawinan dini. Untuk itu, KPPPA memberi pengayaan kepada para tokoh masyarakat, agama, serta petugas di catatan sipil dan kantor urusan agama.
Mereka bekerja sama dengan Kementerian Agama agar ada langkah konkret di lapangan. Selain itu, juga ada program pendidikan dengan teman sebaya yang melibatkan Forum Anak Indonesia dan meminta pemerintah daerah mendirikan sekolah-sekolah di daerah perbatasan ataupun terpencil sehingga anak memiliki kegiatan yang bermanfaat.
Berdasarkan hasil analisis Marshan dkk, pernikahan dini memang didorong pula oleh karakteristik sosial dan ekonomi, baik pada anak perempuan maupun sekelilingnya. Profil kepala rumah tangga juga memainkan peran dalam menentukan keputusan pernikahan anak. Pendekatan sosial dan budaya menjadi tak kalah penting untuk mengubah cara pikir dan pandang atas peran perempuan.
Jalan lain ialah pendidikan. Dengan menjalankan wajib belajar 12 tahun yang dibiayai penuh pemerintah, diharapkan tidak ada hambatan lagi bagi anak perempuan untuk berangkat belajar ke sekolah. Dengan wajib belajar 12 tahun, setidaknya anak dapat lulus pendidikan menengah atas.
Kebijakan itu diharapkan pula memperlama masa belajar anak perempuan dan menghindarkannya dari pernikahan dini. Berbekal pendidikan, perempuan akan lebih baik dalam mengasuh dan mendidik anak-anak yang akan dilahirkannya kelak. Selain itu, dengan semakin tinggi pendidikan, perempuan pun lebih dapat berperan di berbagai lapangan pekerjaan.
Oleh: Indira Permanasari dan Laraswati Ariadne Anwar
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/06/23/Jalan-Lain-Mencegah-Perkawinan-Dini-Perempuan