Mahkamah Konstitusi (MK) akan menyelenggarakan dua sidang putusan pengujian undang-undang korupsi. Sidang tersebut adalah sidang pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diajukan oleh Masyarakat Hukum Indonesia (MHI) dan sidang putusan pengujian UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) yang dimohonkan oleh Ir. Daud Djatmiko. Kedua sidang ini rencananya akan dilangsungkan pada hari Selasa (25/7/2006) pukul 10.00 WIB di Ruang Sidang MK Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.
MHI yang diwakili Direktur Eksekutifnya A.H. Wakil Kamal, S.H. menganggap UU KPK yang menaungi keberadaan KPK bertentangan dengan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. MHI juga menganggap, UU KPK bertentangan dengan prinsip negara hukum pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bertentangan dengan asas-asas pemisahan kekuasaan dengan prinsip keseimbangan kekuasaan (checks and balances) yang dianut UUD 1945 serta bertentangan dengan asas kesamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Dengan adanya pertentangan UU KPK dengan prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum dan keadilan, menurut MHI, telah mengakibatkan sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan menjadi kacau sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara terganggu disebabkan tidak adanya kepastian hukum dan jaminan keadilan bagi seluruh warga negara. Untuk itu MHI memohonkan, diantaranya agar UU KPK dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sidang pengujian UU KPK dengan No. perkara 010/PUU-IV/2006 ini hanya melalui tiga kali sidang [termasuk sidang putusan Selasa nanti (25/7)].
Setelah sidang UU KPK dilangsungkan, MK juga akan menyelenggarakan sidang putusan prkara No.003/PUU-IV/2006 pngujian UU PTPK yang dimohonkan oleh Ir. Dawud Djatmiko yang dalam tidak dapat hadir dalam sidang-sidang sebelumnya karena sedang menjalani tahanan terkait dengan penerapan UU PTPK.
Dawud Djatmiko karyawan PT. Jasa Marga yang telah ditahan sejak 28 Juni 2005 sampai sekarang akibat pemberlakuan pasal tersebut meminta agar materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Penjelasan Pasal 3, Pasal 15 dan Penjelasan Pasal 15 UU PTKP dihapuskan.
Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU PTPK tersebut mencantumkan kata-kata dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan dalam penjelasannya menerangkan, kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi dengan cukup hanya dipenuhinya unsur perbuatan yang sudah dirumuskan (bukan dengan timbulnya akibat). Dengan demikian maka kata dapat mempunyai pengertian tindak pidana korupsi yang telah merugikan keuangan negara secara nyata dan tindak pidana yang tidak merugikan negara (kerugian negara tidak terjadi).
Lebih lanjut Dawud menganggap, kedua hal tersebut secara prinsipil sangat jauh berbeda dan bahkan bertolak belakang, sehingga perbuatan menyamakan ancaman terhadap dua kondisi yang sangat berbeda prinsipil tersebut jelas tidak memberikan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum, sehingga sangat bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Sidang pengujian UU PTPK ini telah melalui lima kali sidang [termasuk sidang putusan nanti (25/7)]. (Mastiur A.P., L.W. Eddyono)