Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (UU Dana Pensiun) pada Selasa (23/6) siang. Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 74/PUU-XIII/2015 ini diajukan oleh Harris Simanjuntak yang merupakan pensiunan karyawan PT. Dirgantara Indonesia dan juga menjadi peserta dana pensiun PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 9, Pasal 21 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (2) UU Dana Pensiun yang mengatur pengelolaan dana pensiun untuk pihak yang berhak atas manfaat pensiun, karena hingga kini Pemohon belum mendapat manfaat dari pensiun.
Pemohon menyadari pasal-pasal tersebut sudah pernah diujikan Pemohon ke Mahkamah dengan Nomor Perkara 6/PUU-XII/2014. Ketika itu amar putusan menyatakan “permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)”. Menurut Mahkamah, alasan permohonan tidak jelas, belum memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah menilai permohonan Pemohon merupakan kasus konkret yang dialami Pemohon, bukan merupakan pelanggaran hak konstitusional.
Dalam permohonannya kali ini, Pemohon beranggapan berlakunya Pasal 9, Pasal 21 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 51 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (2) UU Dana Pensiun pada kenyataannya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Untuk itu, belum dapat memberikan kepastian hukum bagi Pemohon dan seluruh pensiunan untuk mendapat manfaat pensiun yang layak. Selain itu, berlakunya pasal-pasal tersebut juga telah membuat Direksi PT. Dirgantara Indonesia selaku pemberi kerja selama belasan tahun tidak pernah lagi menjalankan tanggung jawabnya menjaga kecukupan dana di Dana Pensiun IPTN agar tetap dapat membayar manfaat pensiun berdasarkan gaji pokok atau upah pokok terakhir.
“Pasal 31 ayat (1), Pasal 51 ayat (1), dan Pasal 51 ayat (2) UU Dana Pensiun diberlakukan tanpa adanya sanksi hukum yang jelas dan tegas, hanya sanksi administratif saja. Sehingga membuat PT. Dirgantara Indonesia dengan leluasa melanggar ketentuan tersebut,” tandas Pemohon.
Menanggapi dalil-dalil yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menilai permohonan Pemohon lebih mengungkap pada kesalahan pelaksanaan undang-undang, bukan masalah norma dari undang-undang. “Perlu diketahui, salah satu wewenang MK adalah menguji undang-undang terhadap UUD. Jadi tidak menguji pelaksanaan undang-undang,” ujar Patrialis.
Sementara itu Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan agar Pemohon merekonstruksi permohonannya, serta lebih meringkas permohonan karena terlalu banyak memakan halaman. Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menilai Pemohon mempermasalahkan UU Dana Pensiun yang kurang lengkap pasalnya. Padahal untuk menambah norma maupun pasal bukanlah menjadi kewenangan MK. (Nano Tresna Arfana)