Mahkamah Konstitusi (MK) menerima kunjungan Unit Pelaksana Kegiatan Asian Law Student Association (ALSA) dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip) Semarang pada Selasa (23/6) pagi. Peneliti MK Fajar Laksono Soeroso menerima kunjungan tersebut dan berlanjut dengan memberikan materi mengenai pengaduan konstitusional (constitutional complaint). Sehubungan pada Agustus 2015, MK siap menggelar simposium internasional dengan tema constitutional complaint.
“Meskipun perubahan UUD 1945 sudah kita lalui lebih dari satu dasawarsa, ternyata constitutional complaint itu masih menarik untuk diperbincangkan. Banyak artikel, disertasi yang membahas masalah constitutional complaint. Salah satunya adalah disertasi dari Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna yang mengkomparasikan antara MK Jerman, MK Korea dan MK Austria,” urai Fajar kepada para mahasiswa.
Fajar menjelaskan bahwa substansi constitutional complaint adalah perlindungan hak asasi manusia. Konstitusi dianggap demokratis karena dua hal, pertama dia membatasi kekuasaan dan kedua dia melindungi hak asasi manusia. UUD 1945 itu pada dasarnya bertujuan melindungi hak asasi manusia, tersebar di berbagai pasalnya, terutama pada Pasal 28 UUD 1945.
Idealnya, kata Fajar, MK sebagai pengawal konstitusi dan juga melindungi hak asasi manusia, dapat optimal menjalankan kewenangannya. “Maka saya katakan, ada sesuatu yang tercecer. Tapi harus dipahami dulu, sebenarnya pengaduan konstitusional itu adalah satu upaya hukum yang luar biasa. Artinya, tidak kemudian satu perkara bisa serta merta bisa dibawa ke MK untuk penyelesaiannya,” ucap Fajar.
“Kalau sudah habis upaya hukum, misalnya di pengadilan biasa dari tingkat pertama sampai PK tetapi yang bersangkutan merasa tercederai, maka bisa dibawa sebagai perkara pengaduan konstitusional ke MK. Jadi ada upaya hukum yang luar biasa,” tambah Fajar.
Fajar melanjutkan, penanganan perkara pengaduan konstitusional di setiap negara memang bukan perkara mudah. Setiap hari akan muncul ratusan bahkan ribuan perkara pengaduan konstitusional.
“Siapkah MK Indonesia dengan sumber daya yang ada? Kita tahu di Korea misalnya hampir 5.000 kasus pengaduan konstitusional per tahun. Di Spanyol ada 11.000 kasus pengaduan konstitusional per tahun, sedangkan di Jerman ada 14.000 kasus pengaduan konstitusional per tahun,” imbuh Fajar.
Namun menurut Fajar, kalau tidak ada pengaduan konstitusional, maka kurang maksimal bagi Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung hak asasi manusia. “Sehingga banyak orang mengatakan perlunya amandemen lanjutan terhadap UUD. Karena melihat kecenderungan saat ini, kalau kita melihat pengujian UU di MK banyak permohonan yang substansinya adalah pengaduan konstitusional,” tandas Fajar. (Nano Tresna Arfana)