Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang pleno pengujian Pasal 85 ayat (1) huruf c UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Susduk) pada Senin 17 Juli 2006 pukul 10.00 WIB di Ruang Sidang MK jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat.
Permohonan perkara nomor 008/PUU-IV/2006 ini diajukan oleh Djoko Edhi Soetijipto Abdurrahman, anggota DPR/MPR RI Komisi III (A-173) dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Djoko Edhi menganggap Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk yang memuat kalimat Anggota DPR berhenti antarwaktu karena: c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan menimbulkan multi interpretasi pada keseluruhan kalimat dalam pasal tersebut yang melahirkan diskriminasi dan kemudian akhirnya mengabaikan atau mengaburkan hak asasi manusia khususnya terhadap dirinya sebagai anggota DPR RI. Dengan demikian menurut Djoko, Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk bertentangan dengan pasal 28C ayat (2), pasal 28D, pasal 28G ayat (1) dan pasal 28J UUD 1945.
Pada sidang sebelumnya (13/6), Pasal 12 huruf b UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (UU Parpol) akhirnya turut pula diujikan dan dibahas dalam persidangan dengan acara mendengar keterangan pemerintah, DPR dan ahli dari pemohon.
Hadir dalam persidangan ini Menteri Hukum dan HAM (Menhukham) Hamid Awaludin, anggota DPR Nursyahbani Kantjasungkana, dan ahli dari pemohon yaitu Prof. Mahfud, M.D. dan Prof. Dr. Harun Al-Rasyid. Hadir pula pemohon Djoko Edhi Soetijipto Abdurrahman yang memberitahukan para kuasa hukumnya mengundurkan diri.
Menhukham mewakili pemerintah berpendapat, tidak ada satu pun hak konstitusional pemohon yang dirugikan UU Susduk dan UU Parpol. Argumen Hamid adalah pada Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik dan Pasal 11 ayat (3) UU Parpol, anggota Parpol wajib mematuhi anggaran dasar, anggaran rumah tangga. Ketika pemohon menyatakan menjadi anggota pada partainya, berarti menerima segala kewajiban yang diberikan partai yaitu mematuhi anggaran dasar, anggaran rumah tangga (AD/ART). Menurut Hamid, konsekwensi dari sikap keikhlasan tunduk pada AD/ART, manakala melanggar AD/ART, maka bisa diberhentikan menjadi anggota dewan.
DPR juga berpendapat bahwa Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU parpol tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 dan juga tidak bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 yang intinya berkenaan dengan pengembangan diri dan hak untuk memperoleh pekerjaan.
Disampaikan Nursyahbani, menurut DPR, aturan tersebut didasarkan keinginan untuk memiliki wakil rakyat yang accountable dan dapat dinilai dari segala perilakunya, perilaku politiknya, juga sejauh mana komitmen dan kinerjanya dalam memperjuangkan aspirasi rakyat dan masyarakat, serta tanggung jawab moral dan politis kepada pemilih khususnya di daerah pemilihannya.
Sehingga terhadap mereka yang dianggap kurang berkomitmen atau melanggar konstitusi dan AD/ART masing-masing Parpol, harus melalui proses pemeriksaan dan verifikasi dugaan pelanggaran oleh masing-masing partai. Ini juga menunjukkan bahwa penghentian sebagai anggota Parpol yang menyebabkan recall atau pergantian waktu, tidak bisa dilakukan sewenang-wenang dan harus melalui koridor undang-undang, tegas anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa ini.
Prof. Mahfud M.D. dalam keterangan lisannya menjelaskan, Pasal 22B UUD 1945 menyatakan bahwa masalah pemberhentian anggota DPR itu diserahkan kepada UU. Menurut Mahfud, UUD 1945 tidak menyebutkan ukuran apa yang menjadi alasan anggota DPR diberhentikan atau tidak, tetapi menyerahkan kepada UU. Oleh sebab itu, maka berdasar keahlian terbatas yang saya miliki sebenarnya konflik ini bukan konflik UU terhadap UUD 1945, tetapi konflik AD/ART barangkali terhadap undang-undang, kata Pakar HTN dari Universitas Islam Indonesia ini.
Berbeda dengan itu, Prof. Dr. Harun Al-Rasyid menyatakan, berpegang pada rumusan Pasal 18 UU Susduk, masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah dan janji. Demi kepastian hukum, saya rasa ini harus ditaati, ujar Harun.
Untuk mempertegas argumennya Harun juga menyampaikan bahwa Bung Hatta pernah mengkritik hak recall dan meminta agar Dewan Perwakilan Rakyat mencabutnya. Menurut Harun, Bung Hatta juga menyesalkan kepada ahli hukum yang diam saja pada saat recall diproses di Dewan Perwakilan Rakyat. (L.W. Eddyono, Mastiur A.P.)